BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wilayah Kabupaten Banyumas yang merupakan wilayah Provinsi Jawa Tengah bagian barat, banyak menyimpan potensi peninggalan hasil budaya, baik yang berupa hasil budaya material maupun hasil budaya non material . Hasil Budaya material yang ada berbentuk peninggalan prasejarah, atau situs atau peninggalan kepurbakalaan, juga peninggalan bengunan / gedung yang mengandung nilai sejarah, sebab pernah dipakai untuk hal-hal penting yang mewarnai perjalanan sejarah bangsa.
Peninggalan prasejarah atau peninggalan kepurbakalaan di Kabupaten Banyumas kebanyakan berbentuk hasil kebudayaan megalitik, yaitu kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan – bangunan dari batu besar, dan batu – batu besar tersebut tidak dikerjakan secara halus, tetapi hanya dibuat secara kasar untuk mendapatkan bentuk yang diperlukan. Sebetulnya pengertian hasil budaya megalitik tidak semata- mata hasil budaya dari batu besar , akan tetapi semua bangunan ataupun benda-benda yang dibuat sebagai sarana pemujaan terhadap nenek moyang baik yang berupa batu kecil ataupun kayu ataupun lainnya dapat dikatakan sebagai hasil budaya megalitik
Kebudayaan megalitik dilatar-belakangi kepercayaan akan kehidupan setelah mati dan alam pikiran yang berdasarkan pemujaan nenek moyang. Contoh hasil – hasil budaya material yang berakar dari kebudayaan megalitik / prasejarah antara lain:
a. Menhir, bentuknya seperti tiang / atau tugu yang didirikan sebagai tanda peringatan dan melambangkan arwah nenek moyang ataupun dapat dipergunakan sebagai pengikat hewan-hewan kurban untuk persembahan dalam pemujaan.
b. Dolmen, bentuknya seperti meja batu berkaki menhir, yang dapat berfungsi sebagai tempat sesaji dalam pemujaan nenek moyang.
c. Pandhusa, bentuknya berupa dolmen yang didalamnya terdapat kubur batu.
d. Sarkofagus atau keranda, bentuknya seperti lesung dan diberi tutup.
e. Kubur batu, bentuknya tidak berbeda dengan peti mayat, tetapi terbuat dari batu.
f. Punden berundak, bentuknya berupa bangunan pemujaan yang disusun bertingkat-tingkat.
Sedangkan peninggalan – peninggalan sejarah berbentuk
a. Gedung-gedung perkantoran
b. Gedung-gedung sekolah
c. Tempat-tempat peribadatan
d. Makam orang penting
d. Monumen-monumen peringatan peristiwa bersejarah dan lain-lain
Hasil budaya non material yang ada di Kabupaten Banyumas , berupa nilai-nilai budaya atau nilai – nilai tradisi yang tersimpan berbagai khasanah budaya masyarakat yang dilatarbelakangi pola kehidupan masyarakat perdesaan yang mempunyai unsur-unsur pandangan tertentu yang hidup dan berakar dalam masyarakat, atau sering diistilahkan sebagai nilai-nilai budaya tradisional yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, yang berupa adat-istiadat / kebiasaan yang telah berlangsung secara turun temurun, dan diyakini memiliki kandungan nilai / pandangan tertentu, yang diwadahi dalam suatu lembaga sosial kemasyarakatan yang terbentuk dari suatu kebiasaan yang dilakukan terus menerus, sampai menjadi adat istiadat, yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan atau lebih sering disebut dengan lembaga adat.
Akan tetapi, akibat pengaruh perkembangan zaman secara otomatis akan berpengaruh terhadap kelestarian dan perkembangan budaya yang hidup dan berakar dalam masyarakat tersebut. Hal tersebut dapat kita lihat, bahwa banyak sekali terjadi pergeseran/perubahan nilai-nilai budaya yang hidup dan berakar dalam masyarakat , bahkan lambatlaun mulai ditinggalkan.
Beberapa lembaga adat / kegiatan adat tradisional / upacara adat tradisional yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dalam wilayah Kabupaten Banyumas yang masih ada meliputi:
1. Lembaga adat yang mewadahi kegiatan upacara adat tradisional berkaitan dengan spritual
2. Lembaga adat yang mewadahi kegiatan upacara adat tradisional berkaitan dengan masalah pertanian.
3. Lembaga adat yang mewadahi kegiatan upacara adat tradisional berkaitan dengan daur-hidup.
B. Batasan Pendataan dan Penulisan
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dalam penulisan buku yang berdasarkan kepada pendataan ini dititik- beratkan pada peninggalan – peninggalan yang mengandung nilai sejarah, kepurbakalaan maupun nilai-nilai tradisi yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas
C. Tujuan Pendataan dan Penulisan
Tujuan dilaksanakannya pendataan dan penulisan adalah sebagai berikut :
a. Mengumpulkan data – data yang berkaitan dengan peninggalan sejarah dan kepurbakalaan dan nilai – nilai tradisi .
b. Untuk mengetahui apa dan dimana saja peninggalan sejarah dan kepurbakalaan dan nilai tradisi di wilayah Kab. Banyumas dalam rangka penggalian, pelestarian, perlindungan dan pemeliharaan dan pemberdayaan
D. Sumber Pendataan
Untuk mengumpulkan data yang otentik dan valid mengenai peninggalan prasejarah , kepurbakalaan dan nilai-nilai tradisi yang ada di wilayah Kabupaten Banyumas digunakan dua macam sumber yaitu sumber lisan dan sumber tertulis.
Sumber lisan antara lain :
- Juru pelihara peninggalan sejarah dan kepurbakalaan
- Tokoh masyarakat / pinisepuh
- Tokoh budaya.
Sumber tertulis antara lain :
Buku – buku referensi yang ada kaitannya dengan data peninggalan sejarah dan kepurbakalaan di Kabupaten Banyumas.
E. Teknik Pendataan dan penulisan
Dalam melakukan pendataan peninggalan sejarah, kepurbakalaan dan nilai – nilai tradisi ini, digunakan metode analisis kualitatif terhadap data – data yang dikumpulkan melalui observasi, wawancara, kajian pustaka, pendokumentasian dan pengamatan langsung di lapangan .
Meskipun pendataan dan penulisan buku ini baru merupakan langkah awal dari suatu penelitian yang lebih lanjut, namun dalam pelaksanaannya menggunakan teknik pendataan dengan maksud agar diperoleh data- data otentik dan valid, adapun teknik yang digunakan sebagai berikut :
a. Wawancara / interview, metode ini digunakan dalam rangka memperoleh keterangan – keterangan lisan mengenai peninggalan sejarah, kepurbakalaan dan nilai-nilai tradisi Metode ini diterapkan dengan cara mewawancarai para nara sumber.
b. Observasi / pengamatan langsung , metode ini digunakan untuk keperluan pengamatan secara langsung di lokasi tentang keberadaan peninggalan sejarah, kepurbakalaan , dan lembaga adat yang ada baik mengenai ukuran, luas situs, serta aktifitasnya.
c. Kajian pustaka, metode ini digunakan untuk memperoleh keterangan – keterangan tertulis hasil pendataan / penelitian terdahulu mengenai peninggalan sejarah, kepurbakalaan dan nilai tradisional.
d. Pendokumentasian, metode ini digunakan dalam rangka mendokumentasikan secara visual peninggalan prasejarah, peninggalan sejarah , dan aktifitas pelaksanaan kegiatan yang berakar pada nilai-nilai tradisi
BAB II
PENINGGALAN KEPURBAKALAAN, SEJARAH
DAN NILAI TRADISIONAL
A. PENINGGALAN KEPURBAKALAAN
1. Situs Candi Ronggeng
Situs Candi Ronggeng terletak di Dusun Gandatapa, Desa Gandatapa, Kec. Sumbang, di tengah – tengah permukiman penduduk disebelah timur jalan desa menuju Dusun Gandatapa, dan berhadapan langsung dengan masjid.
Dinamakan situs Candi Ronggeng, karena menurut kepercayaan masyarakat setempat, situs tersebut sering digunakan sebagai arena / tempat upacara ritual penobatan penari ronggeng yang konon ceritanya di situs tersebut terdapat patung penjelmaan Nyi Ronggeng.
Patung Nyi Rongeng tersebut sebenarnya adalah sebuah patung batu dengan bahan dasar batu andesit yang menggambarkan arwah leluhur pada zaman prasejarah / megalitik. Situs tersebut merupakan tempat pemujaan kepada arwa leluhur pada zaman prasejarah yang berbentuk punden berundak dengan tiga teras, yang orientasinya mengarah ke utara dan selatan dengan mengagungkan gunung Slamet yang dianggapnya sebagai tempat persinggahan terakhir para arwah leluhur. Adapun pintu masuk dari arah selatan, dan di sebelah timur lokasi situs terdapat aliran sungai Gandatapa yang pada zaman prasejarah digunakan sebagai tempat untuk bersuci sebelum memasuki tempat pemujaan arwah leluhur, yaitu situs Candi Ronggeng.
Luas situs secara keseluruhan adalah panjang 28 m dan lebar 16 m, di dalam areal situs tersebut terdapat beberapa peninggalan antara lain : Patung batu yang menggambarkan arwah leluhur yang sudah berbentuk menyerupai patung manusia dengan ukuran tinggi 132 cm dan lebar 32 cm serta tebal 8 cm ( patung tersebut hilang pada tahun 1991 kemudian diketemukan kembali pada tahun 2000, dan sekarang patung tersebut berada di Museum Ki Diso, ( Jl. Dr. Angka, Purwokerto) . Patung tersebut digunakan sebagai sarana ritual pemujaan pada arwah leluhur.
Disamping patung terdapat beberapa batu tegak ( menhir ) yang berada di teras ketiga dan pintu masuk teras ketiga dengan ukuran rata – rata tinggi 55 cm , garis tengah 20 cm .Terdapat juga serakan batu yang merupakan sisa – sisa tatanan batu sebagai alas lantai tempat pemujaan di teras ketiga.
2. Makam Gandakusuma
Makam tersebut terletak di Dusun Gandatapa, Desa Gandatapa, Kec. Sumbang, di dalam areal pemakaman umum Desa Gandatapa dengan lokasi di sisi sebelah timur selatan.
Dinamakan makam Gandakusuma menurut cerita masyarakat setempat, makam tersebut merupakan makam para prajurit Pajang yang melarikan diri dari pusat kerajaan dan dibunuh oleh tentara kerajaan Pajang.
Sebenarnya makam tersebut adalah kuburan batu yang merupakan bangunan megalitik yang paling tua, yang berfungsi sebagai kuburan, karena di tempat tersebut terdapat beberapa bentuk batu besar lainnya yang pada zaman prasejarah sering digunakan sebagai pelengkap pemujaan arwah nenek moyang yang bentuknya menyerupai menhir.
Adapun luas makam tersebut adalah panjang 14 m dan lebar 11 m dengan orientasi mengarah ke arah utara dan selatan dengan pintu masuk dari arah selatan. Di sebelah timur makam terdapat aliran sungai Gandatapa yang pada zaman prasejarah digunakan sebagai tempat bersuci sebelum memasuki makam / tempat pemujaan arwah nenek moyang.
3. Situs Candi Batur
Situs Candi Batur terletak di Dusun Dakom, Desa Gandatapa, Kec. Sumbang di tengah – tengah areal kebun milik masyarakat di sebelah timur jalan raya Sumbang – Baturaden.
Dinamakan candi batur karena menurut masyarakat setempat situs tersebut merupakan sisa – sisa bangunan candi. Sebenanya situs tersebut adalah merupakan sisa – sisa peninggalan prasejarah yang berupa dolmen, yaitu meja batu berkaki menhir yang biasanya pada zaman prasejarah digunakan sebagai tempat sesaji dan pemujaan nenek moyang.
Peninggalan yang terdapat di lokasi situs tersebut berupa sisa – sisa batu yang dulunya menurut cerita masyarakat setempat berbentuk meja batu, akan tetapi semenjak lokasi situs tersebut digunakan sebagai areal kebun situs tersebut dirusak karena ketidaktahuan masyarakat akan keberadaan dan manfaat peninggalan prasejarah.
4. Situs Watu Guling
Situs Watu Guling terdapat di Desa Datar, Kec. Sumbang di sebelah selatan pemakaman umum Desa Datar. Dinamakan situs Watu Guling menurut cerita masyarakat setempat batu tersebut berasal dari pegunungan daerah selatan yang ditendang oleh Bima dan jatuh berguling – guling dan berhenti di daerah yang datar yang kemudian dinamakan Desa Datar.
Sebenarnya situs tersebut merupakan tempat pemujaan arwah nenek moyang pada zaman prasejarah yang pada awalnya merupakan punden berundak yang berorientasi ke arah utara selatan mengarah kepada gunung Slamet, dan diyakini sebagai tempat bersemayamnya para arwah nenek moyang, akan tetapi karena pengaruh alam dan ketidaktahuan masyarakat setempat, teras pertama dan kedua sudah tidak ada dan langsung menuju teras ketiga.
Peninggalan yang terdapat pada situs tersebut antara lain :
- Batu Menhir 2 buah dengan ukuran masing – masing tinggi 137
cm dan garis tengah 42 cm.
- Batu Lumpang ( pecah dan hilang 1/5 bagian ) 1 buah dengan ukuran tinggi 25 cm, garis tengah 46 cm dan ketebalan 4 cm.
Sedangkan luas keseluruhan situs adalah , panjang 5 m dan lebar 4 m. Pengelolaan pemeliharaan ditangani oleh Ny. Karsinah selaku juru pelihara. Kondisi situs masih asli dan terpelihara. ( Ditulis kembali oleh Legono. S.Pd Pamong Budaya Sejarah Dinbudpar Kab. Banyumas)
|
|
5. Situs Lembu Ayu
Situs Lembu Ayu terletak di Dusun Lembu Ayu, Desa Susukan, Kecamatan Sumbang, kurang lebih 10 kilometer ke arah barat daya dari kota Purwokerto.
Di komplek situs lembu Ayu terdapat sebuah yoni besar, lingga, nandi ( sudah hilang ) dan beberapa fragmen batu candi, serta sebuah makam kuno yang oleh masyarakat disebut sebagai makam “ Pandung Aguna “ dan bebatuan yang menampakkkan ciri peninggalan Hindu/ Budha ,
Selain itu terdapat peninggalan bekas – bekas pondasi dari batu andesit yang mengelilingi komplek situs yang masih tampak terlihat pada sisi barat, utara dan selatan dengan ketinggian pondasi kurang lebih 50 cm.
Melihat posisi dan lokasi situs diperkirakan bahwa tempat tersebut dipergunakan sebagai tempat pemujaan , karena berdekatan dengan lokasi tersebut terdapat sungai Marus yang diperkirakan untuk tempat bersuci sebelum seseorang ke tempat pemujaan. ”.( ditulis kembali oleh Legono. S.Pd Pamong Budaya Sejarah Dinbudpar Kab. Banyumas)
6.Situs Watu Gathel
Situs watu gathel terletak di Desa Karangmangu Kec. Baturraden di sebelah timur jalan raya Baturraden di tengah – tengah areal pemukiman penduduk. Dinamakan watu gathel karena menurut kepercayaan masyarakat setempat bentuknya menyerupai alat kelamin laki – laki. Orang yang datang ke tempat tersebut selain ingin menyaksikan keunikan peninggalan prasejarah tersebut, juga meyakini dapat memperoleh penglarisan dalam dunia perdagangan .
Sebenarnya situs tersebut adalah merupakan peninggalan prasejarah masa megalitikum sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang yang berjenis kelamin laki-laki dan berorientasi ke arah barat dan timur karena diyakini tempat bersemayamnya arwah nenek moyang tersebut berada di sebelah barat gunung Slamet. Di sebelah timur situs tersebut terdapat aliran sungai Belot yang pada zaman prasejarah sudah digunakan sebagai tempat bersuci sebelum menuju tempat pemujaan arwah nenek moyang ( situs watu gathel ).
Bahan dasar situs tersebut terbuat dari batu andesit yang bentuknya menyerupai alat kelamin laki – laki dengan ukuran tinggi 25 cm, garis tengah 140 cm , dan panjang 70 cm, dengan luas situs keseluruhan lebar 1 meter dan panjang 1,5 m.
7.Situs Candi Sapto Argo
Situs candi Sapto Argo terletak di Desa Karangmangu, Kec. Baturraden di dalam areal lokawisata Batururraden tepatnya di sebelah utara kantor lokawisata Baturraden. Situs tersebut merupakan punden berundak dengan tiga teras yang merupakan tempat pemujaan arwah nenek moyang pada zaman prasejarah, beroirentasi ke arah utara dan selatan ke arah gunung Slamet yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para arwah nenek moyang . Di sebelah timur situs tersebut terdapat aliran sungai Belot yang pada zaman prasejarah digunakan sebagai tempat bersuci sebelum menuju tempat pemujaan arwah nenek moyang. Peninggalan yang terdapat di dalam lokasi situs tersebut berupa menhir sebanyak 2 buah , dengan bahan dasar batu andesit yang berukuran masing – masing tinggi 75 cm , garis tengah 20 cm berada pada pintu masuk teras ketiga di samping itu juga terdapat beberapa makam / kubur batu. Sebenarnya makam tersebut adalah kuburan batu yang merupakan bangunan megalitik yang paling tua yang berfungsi sebagai kuburan, karena di tempat tersebut terdapat beberapa bentuk batu besar lainnya yang pada zaman prasejarah sering digunakan sebagai pelengkap pemujaan arwah nenek moyang yang bentuknya menyerupai menhir tempat bersemayamnya jasad nenek moyang. Luas situs keseluruhan panjang 24 m , dan lebar 22 m.
8. Situs Candi Batur.
Situs candi Batur terletak di Desa Karangmangu, Kec. Baturraden di dalam areal lokawisata Baturraden di sebelah utara kolam renang. Dinamakan situs candi batur karena menurut cerita masyarakat setempat pinggiran situs tersebut terdapat tumpukan batu yang tertata menyerupai bentuk pondasi ( batur dalam bahasa Jawa ).
Sebenarnya situs tersebut merupakan punden berundak dengan tiga teras yang merupakan tempat pemujaan arwah nenek moyang pada zaman prasejarah , beroirentasi ke arah utara dan selatan ke arah gunung Slamet yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para arwah nenek moyang . Di sebelah timur situs tersebut terdapat aliran sungai Belot yang pada zaman prasejarah digunakan sebagai tempat bersuci sebelum menuju tempat pemujaan arwah nenek moyang.
Peninggalan yang terdapat di dalam lokasi situs tersebut berupa menhir sebanyak 2 buah , dengan bahan dasar batu andesit yang berukuran masing – masing tinggi 55 cm , garis tengah 20 cm berada pada pintu masuk teras ketiga disamping itu juga terdapat beberapa makam / kubur batu. Sebenarnya makam tersebut adalah kuburan batu yang merupakan bangunan megalitik yang paling tua yang berfungsi sebagai kuburan, karena di tempat tersebut terdapat beberapa bentuk batu besar lainnya yang pada zaman prasejarah sering digunakan sebagai pelengkap pemujaan arwah nenek moyang yang bentuknya menyerupai menhir tempat bersemayamnya jasad nenek moyang. Luas situs keseluruhan panjang 24 m , dan lebar 22 m.
- Situs Panembahan
Situs Panembahan terletak di Dusun Semaya, Desa Sunyalangu, Kecamatan Karanglewas dan berada di tengah ladang milik penduduk. Dinamakan situs panembahan menurut ceritera masyarakat setempat situs tersebut sering digunakan sebagai tempat / sarana permohonan (nyembah dalam bahasa Jawa ) kepada yang maha kuasa untuk berbagai keperluan.
Sebenarnya situs tersebut adalah merupakan punden berundak dengan tiga teras, yang merupakan tempat pemujaan arwah nenek moyang pada zaman prasejarah, beroirentasi ke arah utara dan selatan ke arah gunung Slamet yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para arwah nenek moyang. Di sebelah timur situs tersebut terdapat aliran sungai yang pada zaman prasejarah digunakan sebagai tempat bersuci sebelum menuju tempat pemujaan arwah nenek moyang.
Akan tetapi, karena perubahan alam yang tersisa hanya teras ketiga. Di dalam teras ketiga terdapat peninggalan berupa tumpukan batu yang merupakan kubur batu, kubur batu tersebut adalah kuburan batu yang merupakan bangunan megalitik yang paling tua yang berfungsi sebagai kuburan, karena di tempat tersebut terdapat beberapa bentuk batu besar lainnya yang pada zaman prasejarah sering digunakan sebagai pelengkap pemujaan arwah nenek moyang yang bentuknya menyerupai menhir tempat bersemayamnya jasad nenek moyang. Disamping itu juga terdapat menhir dengan bahan dasar batu andesit yang berukuran tinggi 35 cm, lebar 17 cm dan tebal 5 cm. Luas situs keseluruhan panjang 10 m , dan lebar 8 m.
10. Situs Baturrana
Situs Baturrana terletak di Dusun Semaya, Desa Sunyalangu, Kec. Karanglewas, di pegunungan Baturlaya dengan ketinggian 680 m dari permukaan laut, sebelah utara Dusun Semaya. Untuk mencapai situs yang terletak di pegunungan tersebut dibutuhkan waktu perjalanan melewati jalan setapak di tengah-tengah hutan dan perkebunan penduduk kurang lebuh 5 jam dari kantor desa Sunyalangu. Dinamakan situs Baturrana menurut ceritera masyarakat setempat situs tersebut pinggirannya terdapat tumpukan batu menyerupai bentuk pondasi ( batur dalam bahasa Jawa ) dan terletak jauh dari permukiman di daerah pegunungan. Sebenarnya situs tersebut merupakan punden berundak dengan tiga teras, yang sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang pada zaman prasejarah, beroirentasi ke arah utara dan selatan ke arah gunung Slamet yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para arwah nenek moyang. Di sebelah timur situs tersebut terdapat aliran sungai yang pada zaman prasejarah digunakan sebagai tempat bersuci sebelum menuju tempat pemujaan arwah nenek moyang.
Peninggalan yang terdapat di dalam lokasi situs tersebut berupa menhir sebanyak 1 buah, dengan bahan dasar batu andesit yang berukuran tinggi 47 cm, lebar 17 cm, dan tebal 5 cm berada pada teras ketiga, disamping itu juga terdapat beberapa makam / kubur batu yang sebenarnya makam tersebut adalah kuburan batu yang merupakan bangunan megalitik yang paling tua yang berfungsi sebagai kuburan, karena di tempat tersebut terdapat beberapa bentuk batu besar lainnya yang pada zaman prasejarah sering digunakan sebagai pelengkap pemujaan arwah nenek moyang yang bentuknya menyerupai menhir tempat bersemayamnya jasad nenek moyang.
Luas situs keseluruhan panjang 20 m , dan lebar 18 m.
11.Situs Carangandul
Situs Carangandul terletak sebelah selatan dari ibukota Kecamatan Karanglewas + Km 3 dari kota Purwokerto + Km 7. Kondisi jalan menuju situs baik dan sudah di aspal + meter 50 jalan berbatu. Lingkungan sekitar kanan kiri situs berupa perkebunan milik masyarakat. Situs tersebut terhampar pada lahan selua 120 meter persegi
Peninggalan yang terdapat di situs Carangandul berupa patung potongan kepala manusia yang berukuran raksasa, yang menurut mitos yang berkembang di masyarakat, bahwa patung potongan kepala manusia tersebut adalah potongan kepala patih pasir luhur yang dipenggal oleh tentara dari Demak yang akhirnya berupa jadi sebuah batu yang menyerupai kepala manusia.
Konon ceritanya Patih Carangandul seorang patih yang sakti mandraguna dan memiliki aji Pancasona jika perang melawan musuh sekalipun dipenggal jika kepala masih berdekatan dengan tubuhnya maka patih Carangandul tak lama kemudian antara kepala dan tubuhnya menyatu lagi dan akhirnya hidup kembali.
Setelah tentara Demak mengetahui bahwa Patih Carangandul memiliki Aji Pancasona maka setelah kepala Patih Carangandul dipenggal maka antara kepala dan tubuhnya dipisahkan ditempat yang berbeda dan berjauhan. Setelah antara tubuh dan kepala diletakkan ditempat yang berjauhan barulah Patih Carangandul bisa dikalahkan oleh tentara Demak, dan akhinya bisa meninggal dunia untuk selamanya.
Karena kesaktiannya, kini kepala dan otak patih Carangandul telah berubah menjadi sebuah batu yang menyerupai potongan kepala dan otak yang tergeletak terbalik kepala dibawah lehernya diatas.
Patih Carangandul adalah seorang lurah Prajurit Carangandul pada masa Kadipaten Pasir Luhur masih eksis pada abad ke 16 Masehi.
Setelah Kadipaten Pasir Luhur berhasil di Islamkan oleh tokoh agama dari Kerajaan Demak ( Syech Makdum Wali ) , Pangeran Mangkubumi yang saat itu berkuasa di Pasir Luhur dengan bantuan pasukan Demak berusaha mengIslamkan wilayah wilayah yang menjadi kekuasaannya. Semua wilayah dalam kekuasaan Kadipaten Pasir Luhur akhirnya berhasil di Islamkan namun mendapat perlawanan, salah satu diantaranya yakni Carangandul, sehingga terjadi peperangan . Patih Carangandul mendapat hukuman dengan dipancung kepalanya. ( ditulis kembali Oleh Karsnono. Ama. Pd Pamong Budaya Kepurbakalaan Dinbudpar Kab. Banyumas)
11.Situs Candi Batur Golek
Situs candi batur golek terletak di Dukuh Windusari, Desa Kalisalak, Kec. Kedungbanteng di sebelah timur lapangan dusun Windusari . Dinamakan situs candi batur golek menurut ceritera masyarakat setempat di dalam situs tersebut terdapat patung yang bentuknya menyerupai golek. Sebenarnya situs tersebut merupakan punden berundak dengan tiga teras, yang sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang pada zaman prasejarah, beroirentasi ke arah utara dan selatan ke arah gunung Slamet yang diyakini sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang pada zaman prasejarah, beroirentasi ke arah utara dan selatan ke arah gunung Slamet yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para arwah nenek moyang. Di sebelah timur situs tersebut terdapat aliran sungai yang pada zaman prasejarah digunakan sebagai tempat bersuci sebelum menuju tempat pemujaan arwah nenek moyang tersebut.
Peninggaan yang terdapat di lokasi tersebut adalah menhir dengan bahan dasar batu andesit dengan ukuran tinggi 39 cm , lebar 16 cm, tebal 5 cm, disamping itu terdapat serakan batu yang tertata yang berfungsi sebagai altar persembahan dalam ritual pemujaan arwah nenek moyang. Luas situs panjang 11 m , lebar 6,3 m. Pengelolaan dan pemeliharaan situs oleh pemerintah Desa Kalisalak. Kondisi situs masih asli dan terawat.
Peninggaan yang terdapat di lokasi tersebut adalah menhir dengan bahan dasar batu andesit dengan ukuran tinggi 39 cm , lebar 16 cm, tebal 5 cm, disamping itu terdapat serakan batu yang tertata yang berfungsi sebagai altar persembahan dalam ritual pemujaan arwah nenek moyang. Luas situs panjang 11 m , lebar 6,3 m. Pengelolaan dan pemeliharaan situs oleh pemerintah Desa Kalisalak. Kondisi situs masih asli dan terawat.
12. Situs Batu Lurah
Situs batu lurah terletak di dusun Peninis, Desa Windujaya, Kec. Kedungbanteng, di tengah – tengah areal persawahan. Dinamakan situs batu lurah menurut ceritera masyarakat setempat situs tersebut terdapat banyak tumpukan batu yang menyerupai bentuk pondasi ( batur dalam bahasa Jawa ) dan sering digunakan sebagai tempat permohonan kepada yang maha kuasa oleh masyarakat sekitarnya yang mau mencalonkan diri sebagai kepala desa ( lurah ) . Situs tersebut sebenarnya merupakan punden berundak dengan tiga teras, berfungsi sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang pada zaman prasejarah, beroirentasi ke arah utara dan selatan ke arah gunung Slamet yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para arwah nenek moyang. Di sebelah timur situs tersebut terdapat aliran sungai yang pada zaman prasejarah digunakan sebagai tempat bersuci sebelum menuju tempat pemujaan arwah nenek moyang. Peninggalan di dalam lokasi situs tersebut berupa beberapa buah menhir dengan ukuran rata-rata tinggi 67 cm , garis tengah 20 cm . Disamping itu terdapat beberapa kubur batu yang sebenarnya adalah makam / kuburan batu yang merupakan bangunan megalitik yang paling tua yang berfungsi sebagai kuburan, karena di tempat tersebut terdapat beberapa bentuk batu besar lainnya yang pada zaman prasejarah sering digunakan sebagai pelengkap pemujaan arwah nenek moyang yang bentuknya menyerupai menhir tempat bersemayamnya jasad nenek moyang. Luas situs keseluruhan panjang 18 m , lebar 13 m .
14. Situs Batur Bedil
Situs batur bedil terletak di dusun Peninis, desa Windujaya, Kec. Kedungbanteng di tengah – tengah areal hutan perhutani. Dinamakan situs batur bedil menurut ceritera masyarakat setempat pada masa revolusi fisik antara tahun 1945 – 1949 di lokasi situs tersebut pada malam hari sering terdengar suara yang menyerupai suara senapan (bedil ). Sebenarnya situs tersebut adalah merupakan punden berundak dengan tiga teras, berfungsi sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang pada zaman prasejarah , beroirentasi ke arah utara dan selatan ke arah gunung Slamet yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para arwah nenek moyang. Di sebelah timur situs tersebut terdapat aliran sungai yang pada jaman prasejarah digunakan sebagai tempat bersuci sebelum menuju tempat pemujaan arwah nenek moyang. Peninggalan di lokasi tersebut berupa batu kotak dengan bahan dasar batu andesit yang bentuknya hampir menyerupai yoni ( peninggalan masa klasik Hindu Budha ) yang berfungsi sebagai tempat sesaji pada masa prasejarah dengan ukuran lebar 40 cm, panjang 40 cm dan tinggi 31 cm. Disamping itu terdapat tatanan batu sebagai altar pemujaan.
Luas situs lebar 12 m , panjang 12,7 m. Pengelolaan pemeliharaan situs tersebut dilakukan oleh Pemerintah Desa Windujaya. Kondisi situs masih asli dan terawat.
15. Situs Gunung Jenar
Situs gunung jenar terletak di Dusun Pondoklakah, Desa Baseh, Kec. Kedungbanteng, di puncak gunung Jenar dengan ketinggian 689 m dari permukaan laut. Dinamakan situs gunung Jenar karena lokasi situs tersebut berada di puncak gunung Jenar. Sebenarnya situs tersebut merupakan kubur batu yang sebenarnya adalah makam / kuburan batu yang merupakan bangunan megalitik yang paling tua yang berfungsi sebagai kuburan, karena di tempat tersebut terdapat beberapa bentuk batu besar lainnya yang pada zaman prasejarah sering digunakan sebagai pelengkap pemujaan arwah nenek moyang yang bentuknya menyerupai menhir tempat bersemayamnya jasad nenek moyang. Peninggalan di lokasi situs tersebut terdapat 2 buah menhir dengan ukuran masing- masing tinggi 71 cm , garis tengah 18 cm ( yang besar ) dan tinggi 47 cm, garis tengah 12 cm ( yang kecil ). Luas situs keseluruhan panjang 3 m, dan lebar 1,87 m. Pengeolaan dan pemeliharaan situs dilakukan oleh Bapak Sobirin selaku juru pelihara. Kondisi situs masih asli dan terawat.
16. Situs Batur Macan
Situs Batur Macan terletak di Dukuh Kaliputra, Desa Melung, ditengah-tengah areal perkemahan Perhutani.
Dinamakan situs Batur Macan menurut cerita masyarakat setempat situs tersebut pinggirannya terdapat tumpukan batu yang menyerupai pondasi (batur dalam bahasa Jawa) dan sering dijumpai adanya seekor harimau (macan) di sekitar lokasi tersebut, bahkan situs tersebut dianggapnya sebagai kuburan harimau (macan).
Sebenarnya situs tersebut merupakan punden berundak yang berfungsi sebagai tempat pemujaan kepada arwah nenek moyang pada masa prasejarah yang berorientasi ke arah utara dan selatan dengan mengagungkan gunung Slamet yang dianggapnya sebagai tempat bersemayamnya para arwah nenek moyang. Di sekitar situs tersebut tepatnya di sebelah timur terdapat aliran sungai yang digunakan sebagai tempat bersuci pada masa prasejarah sebelum memasuki tempat pemujaan arwah nenek moyang. Peninggalan yang terdapat di lokasi situs tesebut antara lain tatanan batu yang berfungsi sebagai altar persembahan sesaji kepada arwah nenek moyang dan dua buah batu menhir besar dan kecil dengan bahan dasar batu andesit, batu menhir yang besar berukuran tinggi 37 cm, garis tengah 20 cm, sedangkan batu menhir yang kecil berukuran tinggi 23 cm, garis tengah 20 cm. Batu menhir tersebut berfungsi sebagi sarana ritual dan dianggapnya sebgai tempat bersemayamnya roh nenek moyang. Luas situs secara keseluruhan panjang 6 m dan lebar 5,8 m, sedangkan luas areal sekitar situs panjang 15 m dan lebar 10,5 m. Lokasi situs tersebut berada pada kertinggian 700 m dari permukaan laut. Pengelolaan pemeliharaan situs tersebut dilakukan oleh mantri hutan Perhutani. Kondisi situs masih asli dan terawat.
17. Situs Batur Ronggeng / Situs Petung Surat
Situs Batur Ronggeng terletak di Dusun Windusari, Desa Kalisalak, Kecamatan Kedungbanteng di tengah areal Perhutani (hutan pinus).
Dinamakan Situs Batur Ronggeng menurut cerita masyarakat setempat situs tersebut sekelilingnya terdiri dari tatanan batu yang menyerupai bentuk pondasi (batur dalam bahasa Jawa) dan sering digunakan sebagai tempat / sarana oleh para penari ronggeng agar mendapatkan penglarisan.
Situs tersebut sebenarnya adalah punden berundak yang berfungsi sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang pada masa prasejarah dengan orientasi ke arah utara dan selatan dengan mengagungkan gunung Slamet yang dianggapnya sebagai tempat persinggahan terakhir bersemayamnya arwah-arwah nenek moyang. Di sebelah timur situs terdapat aliran sungai yang pada masa prasejarah digunakan sebagai tempat bersuci sebelum memasuki tempat pemujaan arwah nenek moyang.
Peninggalan yang terdapat di lokasi situs antara lain watu lumpang kecil dengan bahan dasar batu andesit yang berfungsi sebagai pelengkap sarana ritual pemujaan arwah nenek moyang dengan ukuran tinggi 23 cm, garis tengah 20 cm, tebal 5 cm, terdapat juga tatanan batu yang berfungsi sebagai altar persembahan dalam ritual pemujaan arwah nenek moyang serta satu buah menhir yang berbahan dasar batu andesit berfungsi sebagai sarana pelengkap pemujaan arwah nenek moyang, dengan ukuran tinggi 53 cm, garis tengah 21 cm. Luas situs secara keseluruhan lebar 3,7 m dan panjang 6,3 m. Pengelolaan pemeliharaan situs tersebut dilakukan oleh mantri hutan Perhutani. Kondisi situs masih asli dan terawat.
18. Situs Batur Agung
Situs Batur Agung terletak di Dusun Pondok Lakah, Desa Baseh, Kecamatan Kedungbanteng di tengah-tengah kebun sebelah selatan lapangan Dusun Pondok Lakah. Dinamakan situs Batur Agung menurut cerita masyarakat setempat situs tersebut pada zaman dahulu digunakan sebagai pertapaan agung Raden Kamandaka dari Kerajaan Pajajaran. Situs tersebut sebenarnya merupakan bantuan punden berundak dengan tiga teras yang berorientasi utara selatan dengan mengagungkan gunung Slamet yang dianggapnya sebagai tempat persinggahan terakhir bersemayamnya para arwah nenek moyang. Di sebelah timur situs terdapat aliran sungai yang pada masa prasejarah sudah digunakan sebagai tempat bersuci sebelum menuju ke tempat pemujaan arwah nenek moyang. Peninggalan yang terdapat di dalam lokasi situs tersebut antara lain 3 buah patung batu dengan bahan dasar batu andesit yang menggambarkan lambang nenek mopyang dengan bentuknya sangat sederhana, dengan ukuran rata-rata tinggi 80 cm dan garis tengah 30 cm. Sebuah batu lumpang yang berbahan dasar batu andesit dengan ukuran tinggi 20 cm, garis tengah 17 cm, tebal 4 cm yang semuanya itu berada pada teras ketiga yang berfungsi sebagai sarana pelengkap upacara ritual pemujaan pada arwah nenek moyang dan disimpan di dalam bangunan rumah cagar budaya. Pada teras kedua terdapat satu buah menhir yang berbahan dasar batu andesit yang juga berfungsi sebagai sarana pelengkap upacara ritual pemujaan arawah nenek moyang dengan ukuran tinggi 57 cm, garis tengah 20 cm. Pengelolaan pemeliharaan langsung ditangani oleh Balai Peninggalan Sejarah Purbakala Wilayah Jawa Tengah dengan juru pelihara Bapak Sobirin. Kondisi situs masih asli dan terawat.
19. Situs Ngarca / Kanthong Praja
Komplek Situs Ngarca kurang lebih 5 m x 10 m, terletak di Grumbul Ngaren, desa Dawuhan Wetan sebelah utara dari ibu kota Kecamatan Kedungbanteng kurang lebih 3 Km. Letak dan posisi situs Ngarca terletak di perkebunan desa yang dikelilingi oleh pohon – pohon tanaman keras seperti pohon kelapa, albasia, rambutan, salak dsb.
Bentuk fisik situs ngarca adalah berbentuk Lingga dan Yoni yang terbuat dari batu . Yoni sebagai lambang Syiwa ( atau lambang laki-laki ) desangkan Yoni sebagai lambang Durga ( lambang perempuan ) perpaduan antara lingga dan yoni adalah lambang kesuburan
Dilihat dari posisi dan keadaan lingkungan , Situs Ngarca dulunya adalah tempat untuk sesembahan kepada sang Pencipta. Komplek situs Ngarca dulunya luas dan merupakan sebuah pelataran untuk berkumpulnya orang banyak dan untuk tempat upacara keagamaan pada saat itu. ( ditulis kembali oleh Karsono. Ama.Pd Pamong Budaya Kepurbakalaan Dinbudpar Kab. Banyumas)
20. Situs Batur Cakrakusuma
Situs Batur Cakrakusuma terletak di Dusun Batur, Desa Panembangan, Kecamatan Cilongok, di tengah – tengah areal persawahan sebelah utara desa. Dinamakan Situs Batur Cakrakusuma menurut ceritera masyarakat setempat situs tersebut merupakan tempat bersemayamnya/makam mbah Cakrakusuma yang diyakini sebagai seorang prajurit sakti mandraguna dari Kerajaan Pajang.
Situs tersebut sebenarnya merupakan punden berundak dengan tiga teras sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang pada masa prasejarah, dengan orientasi ke arah utara selatan mengagungkan gunung Slamet yang dianggapnya sebagai tempat persinggahan terahir bersemayamnya para arwah nenek moyang. Di sebalah timur situs tersebut terdapat aliran sungai yang pada masa prasejarah telah digunakan sebagai tempat bersuci sebelum menuju ketempat pemujaan arwah nenek moyang.
Peninggalan yang terdapat di lokasi situs tersebut dua buah menhir besar dan kecil yang berada pada teras pertama, yang besar berukuran tinggi 1 m, garis tengah 21 cm sedangkan menhir yang kecil berukuran tinggi 29 cm, garis tengah 16 cm, disanping itu terdapat juga dua buah batu lumpang kecil dengan ukuran masing-masing tinggi 20 cm, garis tengah 16 cm, tebal 5 cm, serta dua buah batu bulat besar dan kecil; yang besar berukuran tinggi 23 cm, garis tengah 22 cm, sedangkan yang kecil berukuran tinggi 11 cm, tinggi 10 cm. Pada teras kedua dan ke tiga terdapat tatanan batu yang bentuknya menyerupai bentuk pondasi, yang kesemuanya itu merupakan sarana pelengkap dalam ritual pemujaan kepada arwah nenek moyang. Luas situs secara keseluruhan panjang 21,7 m dan lebar 18 m. Pengelolaan pemeliharaan situs tersebut dilakukan oleh Bapak Saniswan selaku juru pelihara. Kondisi situs sedikit berubah dimana sebagian tatanan batu sudah dipondasi menggunakan semen dan masih terawat.
21. Situs Watu Kentheng / Lumpang Sambirata
Watu Kentheng Sambirata terletak di Dusun Ragung, Desa Sambirata, Kecamatan Cilongok berada di tengah-tengah permukiman penduduk sebelah utara jalan desa.
Situs watu kentheng tersebut merupakan bangunan punden berundak sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang pada masa prasejarah yang berorientasi ke arah utara dan selatan dengan mengagungkan gunung Slamet yang dianggapnya sebagai tempat persiggahan terakhir bersemayamnya para arwah leluhur di sebelah timur lokasi situs tersebut terdapat aliran sungai yang pada masa prasejarah sudah digunakan sebagai tempat bersuci sebelum menuju ke tempat pemujaan arwah nenek moyang. Peninggalan yang terdapat pada lokasi situs tersebut antara lain watu lumpang dengan bahan dasar batu andesit yang berfungsi sebagai sarana pelengkap ritual pemujaan arwah nenek moyang dengan ukuran tinggi 50 cm, garis tengah 75 cm, tebal 4 cm. Selain itu, juga terdapat tatanan batu di sebelah utara tempat watu lumpang yang berfungsi sebagai tempat atau altar pesembahan dalam upacara ritual pemujaan arwah nenek moyang. Luas situs secara keseluruhan panjang 10 m, lebar 5 m. Pengelolan pemeliharaan situs tersebut langsung dilakukan oleh Balai Peninggalan Sejarah dan Purbakala Wilayah Jawa Tengah dengan juru pelihara Bapak Sudiro (perangkat Desa Sambirata). Kondisi situs masih asli dan terawat.
22. Situs Tebet Madas Mayung
Situs Tebet Madas Mayung terdapat di Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok di perkebunan kopi penduduk pinggir sungai perbatasan antara Desa Sambirata dengan Desa Karangtengah. Dinamakan situs Tebet Madas Mayung menurut cerita masyarakat setempat situs tersebut berada di perbatasan desa dan betuknya menyerupai payung dari batu padas. Situs tersebut sebenarnya merupakan dolmen yang bentuknya seperti meja batu berkakikan menhir yang berfungsi sebagai tempat sesaji dan pemujaan arwah nenek moyang serta di bawah/ sekitarnya terdapat kubur batu. Di sebelah timur situs tersebut terdapat aliran sungai yang digunakan sebagai tempat bersuci pada masa prasejarah sebelum menuju tempat pemujaan arwah nenek moyang. Peninggalan yang terdapat di lokasi situs tersebut antara lain batu dolmen yang berbahan dasar batu andesit lebar 97 cm, panjang 101 cm, tebal 18 cm. Beberapa buah menhir kecil yang berfungsi sebagai sarana pelengkap upacara ritual pemujaan arwah nenek moyang. Pengelolaan pemeliharaan situs tersebut dilakukan oleh Bapak Sudiro (perangkat Desa Sambirata) selaku juru pelihara. Kondisi situs masih asli dan terawat.
23. Situs Watu Lumpang / Kentheng Kemawi
Situs Watu Lumpang / Kentheng Kemawi terletak di Dusun Wanasari, Desa Kemawi, Kecamatan Somagede di perbukitan areal hutan Perhutani.
Masyarakat sekitar menyebutnya dengan sebutan watu janji karena di lokasi tersebut sering digunkan sebagai tempat ritual untuk menguji janji / keinginan seseorang dengan cara mengangkat batu lumpang tersebut dan apabila berhasil mengangkatnya, maka janji / nasib seseorang tersebut akan terkabul (bagi yang meyakini).
Situs tersebut merupakan bangunan punden berundak yang berfungsi sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang pada masa prasejarah dengan orientasi ke arah utara selatan dengan mengagungkan gunung Slamet yang dianggapnya sebagai tempat persinggahan terakhir bersemayamnya arwah nenek moyang. Peninggalan di sekitar lokasi situs berupa batu lumpang dengan bahan dasar batu andesit yang berukuran tinggi 23 cm, garis tengah 20 cm, tebal 6 cm yang pada masa prasejarah digunakan sebagai sarana pelengkap dalam upacara ritual pemujaan arwah nenek moyang. Pengelolaan pemeliharaan dilakukan oleh Bapak Sanparidi selaku juru pelihara. Kondisi situs masih asli dan terpelihara.
24. Situs Watu Keser
Situs Watu Keser terletak di Dusun Keser, Desa Notog, Kecamatan Patikraja di tengah permukiman penduduk di areal pekarangan kebun Bapak Moh. Dorum sebelah selatan makam Desa Notog. Situs tersebut merupakan bangunan punden berundak yang berfungsi sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang berorientasi ke arah utara selatan dengan mengagungkan gunung Slamet yang dianggapnya sebagai tempat persinggahan terakhir bersemayamnya arwah nenek moyang. Di sebelah timur situs tersebut terdapat aliran sungai Trenggulun yang pada masa prasejarah digunakan sebagai tempat bersuci sebelum menuju ke tempat pemujaan arwah nenek moyang. Peninggalan yang terdapat di lokasi situs tersebut berupa dua buah batu lumpang besar dan kecil dengan bahan dasar batu adesit, yang besar berukuran tinggi 40 cm, garis tengah 57 cm, sedangkan yang kecil berukuran tinggi 15 cm, garis tengah 17,5 cm yang berfungsi sebagai sarana pelengkap dalam upacara ritual pemujaan arwah nenek moyang pada masa prasejarah.
Pengelolaan pemeliharaan dilakukan oleh Ny. Diwen selaku juru pelihara. Kondisi situs masih asli dan terawat.
B. PENINGGALAN SEJARAH
1. Pemandian Kalibacin
Menurut sejarah, Obyek wisata Husada Kalibacin ini sudah banyak dimanfaatkan orang sejak zaman Pasirluhur, tepatnya adalah ketika Pasirluhur dibagi lima yaitu satu bagian ( 4 desa Pasir sekarang ) adalah daerah Mancagangsal yaitu wilayah Pemutihan yang mendapatkan tugas khusus untuk merawat pusaka dan makam kerabat keraton yang ada di Pasirluhur, dimana wilayah ini diberikan kepada putra Adipati Pasirluhur yang terakhir yaitu Pangeran Perlangon yang bernama Pangeran Langkap, dan empat desa perdikan yang diberikan kepada empat keponakan Adipati Pasirluhur ( Pangeran Prelangon ) yang salah satunya bernama Ki Bonjok. (Tiga orang lainnya masing-masing bernama Ki Gede Sule, Ki Gumingsir dan Ki Ambilung).
Sebelum Bonjok berkuasa di wilayah itu (sebagai Desa Perdikan) tempat itu sudah dikenal banyak orang dengan nama “Gua Teleng” namun belum dimanfaatkan sebagai obyek wisata. Setelah Ki Bojok berkuasa di situ dan “Gua Teleng” banyak dimanfaatkan banyak orang untuk mengobati berbagai macam penyakit kulit, maka “Gua Teleng” berganti nama dengan nama yang baru yaitu “Tuk Semingkir” karena berbagai macam penyakit setelah mandi di mata air ini segera sembuh. (Semingkir artinya pergi / hilang / sembuh).
Satu – dua orang sembuh karena mandi di sana tidaklah mampu membuat tempat itu dikenal banyak orang, namun setelah banyak orang sembuh karena mandi di sana, maka tempat itu lalu banyak dikenal orang bahkan banyak orang berkunjung untuk berobat disana. Orang sakit kulit, mandi disana kemudian sembuh; orang sakit tulang, mandi di sana kemudian sembuh; orang sakit syaraf, mandi di sana kemudian sembuh; orang sakit mata, mandi di sana kemudian sembuh, pokoknya berbagai macam penyakit dapat sembuh kalau mandi di sana.
Di zaman Martanegara memerintah di sana, datanglah seorang Mubaligh dari Demak menyebarkan agama Islam. Sang Mubaligh tersebut bermukim di sekitar Tuk Semingkir untuk memudahkan mengambil air wudu dan keperluan lainnya. Setelah sang Mubaligh pergi, maka tempat itu dikeramatkan orang sebagai petilasan wali. Sedangkan pakaian dan barang-barang lainnya berupa tulisan-tulisan di daun lontar, terbang, rebana, tombak dan lain-lain yang ditinggal sang mubaligh disimpan di Balai Malang yang letaknya hanya sekitar 200 M dari Tuk Semingkir.
Sejarahpun terus ditulis dan sampailah pada angka tahun 1830 dimana Pemerintah Hindia Belanda menguasai Banyumas (Kabupaten Banyumas dibentuk oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 1 Nopember 1830). Diam-diam para pejabat yang berkuasa waktu itu tertarik akan apa yang terjadi di Tuk Semingkir. Banyak orang dengan berbagai penyakitnya berkunjung ke situ. Setelah diadakan penelitian ternyata mata airnya tidak mengandung gas yang berbahaya bagi kehidupan manusia, justru mengandung mineral yang antara lain : belerang; kapur; garam; soda; minyak tanah; logam-logam seperti besi; tembaga; perak dan bahkan juga emas meskipun kadarnya hanya kecil. Maka pada tahun 1892 dibangunlah pemandian itu dan dibuka untuk umum oleh Raden Dipowinoto (Wedono Banyumas). Bangunan tersebut menggunakan bahan dari kayu, bambu dan beratap dari welit, berdiri di atas tanah yang berstatus Guvernement Ground (G. G). pada waktu itu juga diadakan pembangunan berupa perluasan belik mata air menjadi seperti sebuah sendang, kemudian juga ditanami pohon beringin. Sejak saat itu “Tuk Semingkir” berganti nama menjadi “Tamba Wringin Tirta Hoesada” yang berarti air pengobatan.
Dengan telah dibukanya tempat itu untuk umum, maka dengan itu pula dan untuk yang pertama kalinya, yaitu pada tahun 1892 di Kabupaten Banyumas telah berdiri satu objek wisata pengobatan tertua dengan nama “Tamba Wringin Tirta Hoesada”.
Pada tahun 1909 berkenaan dengan hari kelahiran (Hari Ulang Tahun) Putri Yuliana, Putra Nalendra Praja Netherland, tempat itu dibangun permanen dengan biaya dari negara, adapun sebagai pemimpin pembangunan tersebut adalah Raden Danusubroto (Wedana Banyumas) secara bertahap.
Setelah kamar mandi yang paling timur selesai dibangun, yang pertama kali siram (mandi) disitu adalah kanjeng Sunan Pakubowono X.
Pendirian Pemandian Kalibacin diabadikan dalam sebuah prasasti yang dibuat tahun 1892 oleh R. Dipowinoto. Prarasti ditulis dengan huruf dan bahasa Jawa, berbentuk tembang dandanggula, terdiri dari 45 baris yang terbagi menjadi 2 bidang, masing-masing berisi 23 baris dan 22 baris.
2. Pendopo Si Panji
Pendopo duplikasi si Panji merupakan warisan arsitektur Indies yang merupakan wujud alkulturasi yang sangat kental antara kebudayaan Jawa, kabupaten Barat dan kearifan lokal Banyumas. Dalam kontes kebudayaan Nusantara, kebudayaan indies tercipta dari kebudayaan barat (dalam hal ini belanda ) dan kebudayaan timur (dalam hal ini kebudayaan Jawa ) yang hidup sekitar abad 19. Perkembangan budaya indies di wilayah Banyumas paling mudah di jumpai pada berbagi bentuk bangunan peninggalan kolonial Belanda, mulai dari fasilitas umum hingga rumah-rumah tinggal. Ciri utama gaya arsitektur Indies adalah memadukan berbagi elemen timur,dengan elemen barat, memiliki luas tanah yang sangat besar.
Pendopo si Panji diperkirakan di bangun pasca perjanjian Giyanti 1775, yaitu pada saat Bupati Banyumas di jabat oleh Raden Tumenggung Yudanegara II diangkat menjadi Patih Sultan Yogyakarta bergelar Patih Danurejo I.
|
|
3. Petilasan Kepel
Petilasan Kepel adalah sebuah peninggalan Kadipaten Karangpucung terletak di Desa Klahang , Kecamatan Sokaraja , Kabupaten Banyumas kurang lebih 6 Km ke arah barat daya dari kota Purwokerto . Petilasan tersebut terhampar pada lahan seluas
120 meter persegi, dan berada ditengah-tengah permukiman penduduk.
Menurut ceritera rakyat di Desa Klahang Kadipaten Karang Pucung diperkirakan eksis pada abad ke 16 . Adipati yang cukup terkenal saat itu yaitu Adipati Tunggul Wulung salah satu keturunan Adipati di Pasir Luhur. Adipati Tunggul wulung terkenal sangat sabar, bijaksana, sakti mandraguna karena memeliki senjata kesaktian Keris Kyai Cebol, Tombak Kyai Klabang, Pedang Seto Manunggal, Songsong Agung, serta Kitab Stambul. Selain itu beliau sangat menyukai kesenian Jawa , khususnya gamelan.
.Karena kesaktiannya , Adipati Tunggul Wulung memiliki musuh bebuyutan dari Adipati tetangga yakni Adipati Sam dari Kadipaten Sambeng. Sehingga pada suatu saat terjadilah pertempuran antara keduanya memperebutkan gamelan. Pertempuran diantara keduanya tidak ada yang menang dan gamelan yang diperebutkan akhirnya menjadi batu-batu yang menyerupai gamelan sampai saat ini masih ada peninggalannya.(Ditulis kembali oleh Legono. S.Pd Pamong Budaya Sejarah Dinbudpar Kab. Banyumas )
4.Masjid Kajiwatu
Masjid Batu dikenal oleh masyarakat sekitar namanya yaitu MASJID KAJI WATU. Nama tersebut tidak asing lagi karena yang membuat masjid tersebut adalah seorang tokoh agama didaerah tersebut yang mempunyai kelebihan memecah batu sebesar rumah untuk disulap menjadi sebuah bangunan masjid. Dengan kekuatan doa-doanya Mbah Abdulah Ngisa namanya mempunyai keinginan akan membuat tempat ibadah dari batu yang ada di pekarangannya.
Mbah Abdulah Ngisa waktu kecilnya bernama Darsan lahir tahun 1850-an. Setelah naik Haji Darsan berganti nama Abdulah Ngisa untuk mengingat sejarah pertama kali membelah batu di waktu sholat Isa. Kaji watu juga bisa merarti mengaji di atas batu atau mempelajari ajaran-agama sambil duduk di atas batu.
Kondisi batu sebelum dibuat masjid konon kabarnya sangat angker dan banyak penghuni lelembut yang sering mencelakakan baik hewan maupun manusia.
Di suatu saat Mbah Abdulah Ngisa kedatangan tamu seorang ulama dari Buntet Cirebon yang bernama Kyai Abbas bahwa batu ini bisa untuk tempat berlindung pejuang Indonesia untuk melawan Belanda. Tentara Belanda tidak berani menyerang tentara RI yang sedang berlindung di sekitar batu yang angker tersebut.
Masjid Batu asal mulanya adalah sebuah batu besar kemudian dipecah oleh mbah Abdulah Ngisa sampai menjadi sebuah lantai. Pecahan batu ada yang dibuat tiang , dinding dan daun pintu. Dengan ketekunan mbah Abdullah Ngisa pecahan pecahan batu itu disusun dan dibuat sebuah rumah ibadah yaitu Masjid Batu, yang artinya sebuah bangunan masjid yang dibuat serba batu.Kelebihan pecahan batu sebagian untuk membangun rumah tinggalnya yang tidak jauh dari lokasi. ( ditulis kembali oleh Karsono. Ama.Pd Pamong Budaya Kepurbakalaan Dinbudpar Kab. Banyumas)
5.Situs Bonokeling
Situs Bonokeling terletak di Grumbul Pekuncen, Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, kurang lebih 2 km arah selatan pada jalur jalan raya antara Margasana dan Jatilawang. Komplek Situs Bonkeling terdiri dari sebuah makam tua yang diperkirakan makam Bonokeling seorang penyebar Islam awal di Banyumas khususnya di wilayah Jatilawang dan sekitarnya, serta bangunan-bangunan yang bernuansa tradisional yang didiami oleh sebagian komunitas pendukung adat tradisi yang terkait dengan situs tersebut. Keberadaan makam dan komplek situs yang bernuansa sangat tradisional tersebut sudah ada sejak awal penyebaran Islam di Banyumas ( abad 15 Masehi ).
Hal tersebut dapat dikaji dari tata cara upacara tradisional yang menggunakan do’a doa cara Islam namun masih sepotong-sepotong dan belum sempurna.
Bonokeling adalah tokoh penyebar Islam di Wilayah Jatilawang yang memadukan Islam dengan unsur kejawen yang sangat kuat. Rupanya ajaran yang diberikan oleh Bonokeling belum sempurna , namun Bonokeling keburu meninggal dunia. Oleh pengikutnya Bonokeling dimakamkan ditempat / kawasan itu yang dihuni oleh para pengikutnya secara turun temurrun. Mereka membangun komunitas dengan berbasis pada ajaran leluhurnya.
Di kawasan itu berdiri sebuah kompleks menyerupai bangunan pusat perkantoran Jawa klasik. Inilah rumah dinas bagi para pemimpin aliran kepercayaan Bonokeling yang disebut ’bedogol’. Rumah tempat tinggal di namai Balai Badung, sementara tempat menggelar pertemuan di namai Balai Malang. Rumah ini memiliki balai-balai yang lapang, dilengkapi tempat duduk dari bambu. Disinilah biasa digelar beragam pertemuan dan ritual kepercayaan.
Ribuan umat Islam Kejawen (perpaduan ajaran Islam dan ajaran asli Jawa) setiap tahunnya menggelar dua ritual utama dikompleks ini. Ritual ‘unggah-unggahan’ mereka gelar selama tujuh hari berturut-turut sebelum memasuki bulan puasa. Sebaliknya, upacara ‘perlon turunan’ mereka adakan setelah mereka menyelesaikan masa 30 hari puasa. Ibadah Puasa merupakan salah satu dari lima perintah Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW.
Para umat berjalan kaki dari kediaman masing-masing, menuju rumah pemimpin wilayah dan lantas bersama-sama menuju Kompleks Makam Bonokeling. Kaum laki-laki memanggul ternak seperti kambing dan hasil bumi, sementara kaum perempuan membawa bakul berisi beras, lauk pauk dan jajan pasar. Sepanjang jalan, semua anggota kelompok harus berjalan berjajar, diupayakan tanpa alas kaki dan tak boleh saling mendahului. Prosesi ini menjadi bagian dari laku prihatin untuk persiapan upacara pensucian diri selama masa puncak ritual Unggah-unggahan.
Perjalanan dipimpin pemuka umat yang dinamai ‘bedogol wilayah’. Mirip kuota ibadah haji, masing-masing wilayah setiap tahunnya sudah diberi kuota jumlah anggota yang boleh mengikuti upacara. Sebabnya lokasi hanya mampu menampung sekitar lima ribu orang. Khusus untuk mereka yang datang dari kota besar berjarak lebih dari seratus kilometer, seperti dari Jakarta dan Bandung, diperbolehkan naik kendaraan. Mereka sebelumnya meminta izin ‘bedogol’ wilayah.
Para ‘bedogol wilayah ‘ dari berbagai kota dipimpin oleh lima bedogol utama. Hanya pemuka umat paling utama, terdiri dari lima bedogol, yang berhak tinggal dan diberi semacam ”rumah dinas” di Kompleks Makam Bonokeling. Rumah dinas para bedogol disebut ”Balai Malang” sedangkan rumah utama untuk menggelar pertemuan di namai Rumah Bandung. Sejak ratusan tahun silam, rumah model limasan dan joglo itu hanya mengalami pemugaran. Alas rumah masih tetap berupa tanah.
Lima ”bedogol” merupakan lambang kebaikan tokoh pewayangan Pandawa. Saat ini (2009), ”bedogol” utama dipimpin oleh Kyai Kunci Mejasari yang disepadankan dengan tokoh pewayangan Yudhistira. ”Bedogol” selanjutnya berturut-turut adalah Wiryapada (Werkudara), Wangsapada (Janaka), Nayaleksana (Nekula) dan Padadiwirya (Sadewa).
|
|
6. Stasiun Kereta Api Purwokerto (Stasiun Raya)
Stasiun Raya Purwokerto terletak di Kelurahan Kober, Kecamatan Purwokerto Barat. Stasiun Raya yang dibangun tahun 1915 tersebut menempati areal seluas 500 m x 150 m, dengan luas bangunan keseluruhasn , panjang 75 m ,lebar 40 m, dan tinggi 10 m.
Pembangunan perkeretaapian di wilayah Banyumas sudah mulai dirintis sejak tahun 1881, tetapi pada saat itu jalur kereta api belum melewati Purwokerto. Secara riil lokasi yang menjadi stasiun raya sekarang sudah mulai dilalui kereta api sejak tahun 1892, dimana pada tahun 1892 perusahaan swasta SDS ( Serajoe Dal Stoom Tram Maaschappi ) membuka jalur Maos Purwokerto. Pembukaan jalur ini sebagai kelanjutan jalur yang telah dibuka oleh Pemerintah Hindia Belanda antara Bandung – Jogjakarta melewati Maos dan Kroya melalui perusahaan Kereta Api SS ( Staat Spoorwegen )
Pada tahun 1915 SDS ( Serajoe Dal Stoom Tram Maaschappi ) membuka jalur lagi Maos – Cilacap.
Semasa zaman Jepang rel KA SDS sebagian besar dibongkar dan tinggal rel antara Purwokerto – Wonosobo.
Pada masa perjuangan 1945 – 1949 jalur KA tersebut sangat berperan untuk
transportasi ke daerah perjuangan antara Cilacap, Purbalingga, Wonosobo, Temanggung, dll.
Pada pertempuran Ambarawa bantuan pejuang dari sekitar Purwokerto telah memanfaatkan jalur KA tersebut.
7. Masjid Saka Tunggal Cikakak
Masjid Saka Tunggal terletak di desa Cikakak kecamatan Wangon berjarak 30 Km arah Barat daya kota Purwokerto. Dinamakan Masjid saka Tunggal karena memang hanya memiliki satu pilar utama penyangga. Disekitar masjid terdapat makam seorang penyebar agam Islam yang bernama Kyai Mustolih. Berdasarkan ceritera nara sumber yaitu KGPH Dipo Kusumo dari Keraton Surakarta Hadiningrat dan Drs. Suwedi Montana , seorang peneliti Arkeologi Islam dari Puslit Arkenas Jakarta pada tanggal 29 Januari 2002 dijelaskan sebagai berikut :
Sunan Panggung adalah salah seorang dari kelompok Wali sanga yang merupakan murid Syech Siti jenar. Sunan Panggung meninggal pada masa pemerintahan Sultan Treneggono di Demak Bintoro antara tahun 1546-1548 M. Menurut Serat Cabolek, Sunan Panggung dihukum dengan cara dibakar atas kesalahannya menentang suatu syariat. Namun demikian dalam hukumannya tersebut ia tidak mati, bahkan saat pada saat itu mampu menulis suluk yang kemudian dikenal dengan sebutan Suluk Malangsumirang.
Sunan Panggung menurunkan anak bernama Pengeran halas. Pangeran halas menurunkan Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan menurunkan Kyai Cikakak. Kyai Cikakak menurunkan Resayuda. Kyai Resayuda menurunkan Ngabehi Handaraka, dan Ngabehi handaraka menurunkan Mas Ayu Tejawati, Istri Amangkurat IV, yang menurunkan Hamengkubuwana, raja Ngayogyakarta Hadiningrat..
Kyai Cikakak yang merupakan keturunan ketiga Sunan Panggung tidak diketahui nama aslinya. Nama “ Kyai Cikakak “ diperkirakan merupakan sebutan karena ia bertempat tinggal di Desa Cikakak. Di Desa inilah Kyai Cikakak mendirikan sebuah masjid dengan keunikan tersendiri, yaitu dengan tiang utama tunggal ( saka tunggal ) yang masih lestari hingga saat ini.
Masjid saka Tunggal di bangun di tempat suci “ Agama Kuno “ ( agama yang berkembang sebelum masuknya agama Hindu Budha ) yang dapat dibuktikan di sekitar masjid terdapat sebuah batu menhir yang merupakan tempat untuk kegiatan ritual : “ agama kuno “ dibangun pada tahun 1522 M. Di sekitar tempat ini terdapat hutan pinus dan hutan besar lainnya yang di huni oleh ratusan ekor kera yang jinak dan bersahabat, seperti di Sangeh Bali.
Saat ini Masjid Saka Tunggal belum kehilangan sama sekali wajah aslinya. Bedanya, gebyok kayu dan gedek bambu yang semula menjadi dinding masjid ini telah diganti dengan tembok.
Salah satu tampilan asli masjid ini yang belum hilang adalah saka tunggal di tengah-tengah bangunan masjid. Saka tunggal tersebut dibuat dari galih kayu jati berukir motif bunga warna-warni.Di bagian pangkal berdiameter sekitar 35 sentimeter. Saka ini berdiri hingga di atas wuwungan yang berbentuk limas, seperti wuwungan pada Masjid Agung Demak.Salah satu keunikan lain Saka Tunggal adalah keberadaan empat helai sayap dari kayu di tengah saka. Menurut Sopani, empat sayap yang menempel di saka tersebut melambangkan ”papat kiblat lima pancer”, atau empat mata angin dan satu pusat. Papat kiblat lima pancer berarti manusia sebagai pancer dikelilingi empat mata angin yang Empat mata angin itu berarti bahwa hidup manusia harus seimbang. Jangan terlalu banyak air bila tak ingin tenggelam, jangan banyak angin bila tak mau masuk angin, jangan terlalu bermain api bila tak mau terbakar, dan jangan terlalu memuja bumi bila tak ingin jatuh. ”Hidup itu harus seimbang,” kata Sopani.
Papat kiblat lima pancer ini sama dengan empat nafsu yang ada dalam manusia. Empat nafsu yang dalam terminologi Islam-Jawa sering dirinci dengan istilah aluamah, mutmainah, sopiah, dan amarah. Empat nafsu yang selalu bertarung dan memengaruhi watak manusia.
Keaslian lain yang masih terpelihara di masjid yang sejak tahun 1980 ditetapkan sebagai cagar budaya Banyumas tersebut adalah ornamen di ruang utama, khususnya di mimbar khotbah dan imaman. Ada dua ukiran di kayu yang bergambar nyala sinar matahari yang mirip lempeng mandala. Gambar seperti ini banyak ditemukan pada bangunan-bangunan kuno era Singasari dan Majapahit.
Kekhasan masjid ini yang masih ada adalah atap dari ijuk berwarna hitam. Atap seperti ini mengingatkan atap bangunan pura zaman Majapahit atau tempat ibadah umat Hindu di Bali. Tempat wudu pun juga masih bernuansa zaman awal didirikan meskipun dindingnya sudah diganti dengan tembok.
Keunikan masjid ini juga terasa pada tradisionalisme keagamaan umat yang beribadah di dalamnya. Setiap akan shalat berjamaah selalu didahului dengan puji-pujian atau ura-ura yang dilagukan, seperti kidung Jawa. Beberapa jemaah menggunakan udeng atau ikat kepala biru bermotif batik.
Tata cara shalat jamaah di masjid kuno ini tak jauh berbeda dengan masjid-masjid lain pada umumnya. Khusus pada jamaah shalat Jumat, jumlah muazin atau orang yang mengumandangkan azan ada empat. Selain itu, semua rangkaian shalat Jumat dilakukan berjamaah, mulai dari shalat tahiyatal masjid, khoblal juma’ah, shalat Jumat, ba’dlal jum’ah, shalat dzuhur, hingga ba’dlal dzuhur. Semua muazin mengenakan baju panjang warna putih dan udeng atau ikat kepala khas Jawa warna biru bermotif batik.
|
|
|
8. Pabrik Gula Kalibagor
Pabrik Gula Kalibagor terletak di Dukuh kalibagor, Desa kalibagor, Kecamatan Kalibagor , berada di lokasi pinggir jalan antara Sokaraja dan Kalibagor , atau 8 km dari kota Purwokerto. Pabrik Gula ini dibangun di atas areal 400 m x 200 m. Sedangkan bangunannya sendiri memiliki luas panjang 150 m, lebar 100 m, dan tinggi 20 m.
Pabrik Gula ini dibangun pada tahun 1839 oleh Edward Cooke Jr, seorang pengusaha swasta berkebangsaan Belanda yang memiliki naluri bisnis tinggi, serta jeli memanfaatkan situasi ekonomi negeri Belanda yang sedang lemah.
Keberadaan Pabrik Gula yang pada saat itu merupakan pabrik gula terbesar di Jawa Tengah sangat erat terkait dengan penerapan sistem Tanam Paksa yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk mengatasi krisis keuangan di negara tersebut pada awal-awal abad ke-19. Politik / Sistem tanam Paksa mengharuskan rakyat di wilayah jajahan diharuskan menanam tanaman-tanaman yang bernilai ekspor.
Wilayah Kabupaten Banyumas, dan sekitarnya dipandang sangat cocok untuk penanaman tanaman tebu, selain itu transportasi darat dan air dari wilayah ini sangat mudah, sahingga pembangunan pabrik gula di wilayah Kaibagor ini tentunya dipandang sangat tepat.
Tuan Edward Cooke Jr sebagai pendiri pabrik meninggal pada tahun 1847, dan dimakamkan di komplek pabrik.
9.Maqom Syech Makhdum Wali dan Pangeran Senopati Mangkubumi
Maqom Syekh Makhdum Wali dan Pangeran Senopati Mangkubumi II terletak di Kelurahan Pasir, Kecamatan Karanglewas , kurang lebih 4 km ke arah barat dari kota Purwokerto
Membicarakan tentang maqom Makhdum Wali dan Pangeran Senopati Mangkubumi II, tidak mungkin tidak membicarakan desa-desa perdikan yang ada di bekas Kadipaten Pasirluhur. Salah satu dokumen penting yang bisa memberikan sedikit gambaran tentang keberadaan desa perdikan di bekas Kadipaten Pasirluhur tersebut adalah Rapport Omtrent De Perdikan Dessa’s Poerwokereto, Residentie Banjoemas, Tahun 1901 . Dalam Rapport Omtrent De Perdikan Dessa’s Poerwokereto, Residentie Banjoemas, Tahun 1901 tersebut, dijelaskan bahwa desa perdikan Pasir Wetan, Desa Perdikan Pasir Koelon, Desa Perdikan Pasir Lor dan Desa Perdikan Pasir Kidoel tidak termasuk yang disewakan kepada Pemerintah Hindia belanda, melainkan tetap berada di bawah Negara Kerajaan Surakarta . Hal ini dikarenakan keempat Desa Perdikan tersebut sudah mempunyai tugas khusus yaitu merawat makam seorang wali Kerajaan Demak yang bernama “ Pangeran Makhdumwali “
Di jaman kerajaan dulu , untuk merawat sebuah makam yang meskipun luasnya hampir 4 Ha itu tidaklah terlalu sulit, karena pada masa itu terdapat tradisi bahwa apabila di suatu tempat terdapat peninggalan benda-benda yang bersejarah milik kerajaan ( pusaka, makam dll ), desa tersebut dibebaskan dari segala macam bentuk kewajiban kepada kerajaan, namun diberi tanggungjawab untuk merawat makam atau benda bersejarah yang ada dengan sebaik - baiknya.
Siapa Syech Makhdumwali dan Pangeran Senopati Mangkubumi II ?
Syech Makhdumwali adalah salah satu wali yang diperintah oleh Sultan Demak ( Raden Patah ) untuk mengislamkan salah satu kadipaten yang sangat strategis wilayahnya untuk basik penyebaran agama Islam, yaitu Pasirluhur. Dalam menunaikan tugasnya, beliau didampingi dua orang patih, yaitu Patih Patih Hedin dan Patih Husein.
Setelah sampai di wilayah Pasirluhur , Syech Makhdumwali bersama dengan bala tentaranya tidak langsung masuk ke Pasirluhur, namun hanya mesanggrah ( tinggal sejenak ) di luar wilayah Pasir luhur.
Dari pesanggrahan tersebut , Syech Makhdumwali memerintahkan kepada Patih Hedin dan Patih Husein supaya masuk ke Pasirluhur untuk mengirimkan sepucuk surat yang isinya meminta Adipati Pasirluhur ( Raden banyak Belanak ) untuk memeluk agama Islam. Apabila bersedia, supaya cepat-cepat datang ke pesanggrahan untuk bertemu dengan Syech Makhdumwali, namun apabila tidak bersedia akan dilayani dengan cara kekerasan.
Sesaat sebelum memutuskan apakah akan menerima atau menolak tawaran tersebut, Adipati Pasirluhur ( Raden Banyak Belanak ) terlebih dahulu meminta pertimbangan adiknya sendiri yang sekaligus juga patihnya ( Raden Banyak Geleh ) yang dijawab dengan “ Inggih sendika dhawuh “ ( bersedia )
Mendengar jawaban tersebut segeralah Patih Hedin dan Patih Husein kembali ke pesanggrahan untuk memberitakan kabar gembira tersebut kepada Syech Makhdumwali. Tidak seberapa lama sepeninggal dua patih Syech Makhdumwali tersebut, Adipati Pasir luhur beserta seluruh kerabatnya menghadap Syech Makhdumwali untuk mengikrarkan diri masuk Islam.
Meskipun Kadipaten Pasirluhur saat diislamkan Kerajaan Demak yang menjadi Adipati adalah Raden Banyak Belanak , namun yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan Syech Makhdumwali justru patihnya yaitu Raden Banyak Geleh / Patih Wirakencana / Pangeran Senopati mangkubumi II. Kedekatannya tersebut tidak hanya ditunjukkan di saat beliau berdua masih hidup, melainkan juga ditunjukkan sampai belaiu berdua wafat, dengan dimakamkan dalam satu liang lahat di Hastana Ambawanggulagumantung ( Hastana Pasirluhur ). Hal ini dapat dilihat dari salah satu cuplikan tembang Pucung yang isinya “
“ ya Pangeran , Makhdumwali
dukwau, darbe prajanjian mring sira
rahada patih, Banyak Geleh
anenggih Wira Kencana
“lamun temen, temen angguru
maring sun mbesuk yen palastra,
apan wis pinasti, apan bareng
saluwang ingsun lan sira”
Lalu dijawab oleh Raden Banyak Geleh yang berbunyi :
“ Raden Banyak, Geleh wau
Aturipun, inggih mboten lepat
Mboten kilap tiyas mami, pan
Sinigeg ing Pasir nagara “
10.Klentheng HOK TEK BIO SOKARAJA
Klentheng Hok Tek Bio Sokaraja terletak di Desa Sokaraja, Kecamatan Sokaraja, tepatnya di pertigaan jalan raya menuju ke Purwokerto, ke Banyumas dan ke Purbalingga. Bangunan klentheng seluas 1.500 m2 yang didirikan pada masa Kolonial Belanda ini, menempati lahan seluas 3.000 m2.
Berdasarkan sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk pembangunan Klenteng Hok Tek Bio Sokaraja, tertulis, angka tahun 1826, dengan demikian diperkirakan awal pembangunan klenteng ini dimulai tahun 1826.
Keberadaan sebuah klenteng senantiasa terkait dengan keberadaan leluhur umat pendukungnya. Menurut penuturan dari juru kunci secara turun temurun ( Mini ) , usia leluhur yang ada di kelenteng kemungkinan lebih tua dari bangunan klenteng itu sendiri . Hal itu dibuktikan dengan keberadaan kereta jenazah milik kelenteng yang usianya lebih dari 400 tahun.
Walaupun Bangunan klenteng sudah berdiri sejak awal abad 19 namun bangunan ini mulai digunakan sebagai kelenteng sejak tahun 1960 seiring dengan dimasukkannya Kiem Sien (patung leluhur) yakni Kongco Hok Tek Tjeng Sin ke dalam gedung. Sebelumnya, Kiem Sien Kongco Hok Tek Tjeng Sin berpindah dari rumah ke rumah. Setelah Kiem Sien Kongco Hok Tek Tjeng Sin, masuk pula Kiem Sien Dewi Kwan Im..
Walaupun Bangunan klenteng sudah berdiri sejak awal abad 19 namun bangunan ini mulai digunakan sebagai kelenteng sejak tahun 1960 seiring dengan dimasukkannya Kiem Sien (patung leluhur) yakni Kongco Hok Tek Tjeng Sin ke dalam gedung. Sebelumnya, Kiem Sien Kongco Hok Tek Tjeng Sin berpindah dari rumah ke rumah. Setelah Kiem Sien Kongco Hok Tek Tjeng Sin, masuk pula Kiem Sien Dewi Kwan Im..
Ada salah satu keunikan dalam klentheng ini , yaitu terdapat sebuah bangunan pendopo yang merupakan ciri khas bangunan Jawa. Keberadaan pendopo di Kelenteng ini , lantaran ada keterkaitan antara kelenteng dengan salah satu leluhur Kejawen (masyarakat Banyumas) yakni "Mbah Kuncung" yang merupakan leluhur masyarakat Banyumas.
Sebagai bentuk penghormatan kepada Mbah Kuncung, pengurus kelenteng sepakat menempatkan altar leluhur Kejawen tersebut dalam satu ruangan bersama dengan altar Sang Buddha, Nabi Khonghucu, Maha Dewa Tay San Lauw Cin, dan Dewi Kwan Im.
Pada bagian depan bangunan terdapat sebuah gapura yang menghadap ke barat dan di halaman kelenteng ada sebuah altar "Tuhan Allah" dan penghormatan kepada "Ibu Pertiwi". Bangunan berikutnya berupa kelenteng dengan pendopo yang dimanfaatkan para umat atau peziarah sebagai ruang tunggu sebelum melakukan ritual sembahyang.
Bagian tengah kelenteng digunakan sebagai tempat leluhur tuan rumah dan altar Dewa Harimau (Hu Sen) serta altar Dewa Liong (Lung Sen).
Di tempat itu juga terdapat altar Dewa Hok Sien Hun (kebahagiaan), Dewa Lauw Sien Hun (rezeki), dan Dewa Siu Sien Hun (panjang umur) serta altar Dewa Peperangan atau Dewa Keadilan (Dewa Kwan Sien Tek Kun atau Kwan Kong).
Pada ruangan paling dalam atau ruang Sam Kauw (Tri Dharma) terdapat altar Tri Dharma (tiga nabi agung) yakni Sang Buddha, Nabi Khonghucu, dan Maha Dewa Tay San Lauw Cin dari aliran Tao (Taoisme). Altar Tri Dharma ini terletak di bagian tengah.
Sebelah kanan altar Tri Dharma terdapat altar Dewi Kwan Im (welas asih atau kebijaksanaan) dan sebelah kirinya terdapat altar Mbah Kuncung (para suci Kejawen).
Di tempat itu juga terdapat altar Dewa Hok Sien Hun (kebahagiaan), Dewa Lauw Sien Hun (rezeki), dan Dewa Siu Sien Hun (panjang umur) serta altar Dewa Peperangan atau Dewa Keadilan (Dewa Kwan Sien Tek Kun atau Kwan Kong).
Pada ruangan paling dalam atau ruang Sam Kauw (Tri Dharma) terdapat altar Tri Dharma (tiga nabi agung) yakni Sang Buddha, Nabi Khonghucu, dan Maha Dewa Tay San Lauw Cin dari aliran Tao (Taoisme). Altar Tri Dharma ini terletak di bagian tengah.
Sebelah kanan altar Tri Dharma terdapat altar Dewi Kwan Im (welas asih atau kebijaksanaan) dan sebelah kirinya terdapat altar Mbah Kuncung (para suci Kejawen).
11.Komplek Dalem Kadipaten ( Komplek Pendopo Duplikat Si Panji Banyumas )
Kompleks Dalem Kadipaten (Pendopo Duplikat Si Panji) Banyumas merupakan bangunan peninggalan Kadipaten Banyumas sebelum dipindah ke Purwokerto oleh Bupati Banyumas Martadireja II pada tanggal 7 Januari 1937.
Komplek Dalem Kadipaten Banyumas ini dibangun tahun 1706 oleh Kiai Adipati Yudonegoro II Bupati Banyumas ke 7.
Sebelum lokasi Kadipaten Banyumas berada di tempat ini, Pusat pemerintahan Kadipaten Banyumas sejak Adipati I ( Joko Kaiman tahun 1582 ) sampai Adipati Banyumas ke-6 terletak di Desa Kejawar , kurang lebih 5 kilometer dari tempat ini.
Sebagai lokus bekas Kadipaten, Dalem Kadipaten (Pendopo Duplikat Si Panji) Banyumas telah menjadi salah satu artefak sekaligus landmark (tetenger) dari perjalanan panjang sejarah Kadipaten Banyumas yang pertama kali dibangun oleh Joko Kahiman yang bergelar Kanjeng Adipati Warga Utama II (Adipati Mrapat).
Kondisi eksisting Dalem Kadipaten (Pendopo Duplikat Si Panji) Banyumas mulai dari alun-alun, pintu gerbang, pendopo, longkangan, dalem ageng, griya ageng, boga sasana, senthong kiwa, senthong tengen, bale peni, bale warni hingga tamansari, selain hadir sebagai artefak sejarah, juga memiliki kedalaman filosofi yang didasarkan pada ajaran Jawa. Dari sisi arsitektur, bangunan Dalem Kadipaten (Pendopo Duplikat Si Panji) Banyumas merupakan perpaduan yang sangat kental antara arsitektur tradisional Jawa dan arsitektur kolonial Belanda.
Dari sisi filosofis, Dalem Kadipaten (Pendopo Duplikat Si Panji) Banyumas mengandung ajaran kosmologi Jawa tentang keblat papat lima pancer (empat arah mata angin dan titik pusat imaginer yang berada di tengah-tengah). Bangunan pendopo dikelilingi empat pintu gerbang utama. Gerbang pada sisi timur dan barat searah dengan terbit dan tenggelamnya matahari yang menjadi simbolisasi dari purwa, madya dan wasana yang menggambarkan kehidupan manusia di dunia dari yang semula tidak ada, menjadi ada, dan pada saatnya akan kembali tidak ada. Sedangkan gerbang pada sisi selatan dan utara searah dengan laut selatan dan gunung Slamet, menggambarkan arah privasi (dalem Kadipaten) ke arah publik (masyarakat). Oleh karena itu di arah depan pendopo terdapat alun-alun yang di sisi kanannya terdapat masjid (menggambarkan sisi kebaikan) dan di sisi kirinya terdapat penjara atau Lembaga Pemasyarakatan (menggambarkan sisi buruk).
Fakta demikian membuktikan bahwa Dalem Kadipaten (Pendopo Duplikat Si Panji) Banyumas memiliki kedalaman nilai historis bagi masyarakat Banyumas secara keseluruhan. Dalam konteks perjalanan sejarah kebudayaan, nilai-nilai historis semacam ini menjadi bagian integral kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Ia menjadi spirit, kekuatan sekaligus motivasi bagi kehidupan pribadi dan kehidupan kolektif.
Kondisi eksisting Dalem Kadipaten (Pendopo Duplikat Si Panji) Banyumas mulai dari alun-alun, pintu gerbang, pendopo, longkangan, dalem ageng, griya ageng, boga sasana, senthong kiwa, senthong tengen, bale peni, bale warni hingga tamansari, selain hadir sebagai artefak sejarah, juga memiliki kedalaman filosofi yang didasarkan pada ajaran Jawa. Dari sisi arsitektur, bangunan Dalem Kadipaten (Pendopo Duplikat Si Panji) Banyumas merupakan perpaduan yang sangat kental antara arsitektur tradisional Jawa dan arsitektur kolonial Belanda.
Dari sisi filosofis, Dalem Kadipaten (Pendopo Duplikat Si Panji) Banyumas mengandung ajaran kosmologi Jawa tentang keblat papat lima pancer (empat arah mata angin dan titik pusat imaginer yang berada di tengah-tengah). Bangunan pendopo dikelilingi empat pintu gerbang utama. Gerbang pada sisi timur dan barat searah dengan terbit dan tenggelamnya matahari yang menjadi simbolisasi dari purwa, madya dan wasana yang menggambarkan kehidupan manusia di dunia dari yang semula tidak ada, menjadi ada, dan pada saatnya akan kembali tidak ada. Sedangkan gerbang pada sisi selatan dan utara searah dengan laut selatan dan gunung Slamet, menggambarkan arah privasi (dalem Kadipaten) ke arah publik (masyarakat). Oleh karena itu di arah depan pendopo terdapat alun-alun yang di sisi kanannya terdapat masjid (menggambarkan sisi kebaikan) dan di sisi kirinya terdapat penjara atau Lembaga Pemasyarakatan (menggambarkan sisi buruk).
Fakta demikian membuktikan bahwa Dalem Kadipaten (Pendopo Duplikat Si Panji) Banyumas memiliki kedalaman nilai historis bagi masyarakat Banyumas secara keseluruhan. Dalam konteks perjalanan sejarah kebudayaan, nilai-nilai historis semacam ini menjadi bagian integral kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Ia menjadi spirit, kekuatan sekaligus motivasi bagi kehidupan pribadi dan kehidupan kolektif.
12. Monumen Panglima Besar Jenderal Soedirman
Monumen yang terletak di pinggir Sungai Logawa Kecamatan Karanglewas , kurang lebih 4 km dari kota Purwokerto ini dibangun untuk mengenang perjuangan Jenderal Soedirman Kabupaten Banyumas, khususnya Purwokerto. Berkat keahlian strategi dan kepandaian dalam bernegosiasi dengan penjajah Jepang maka pengambilalihan kekuasanan dari penjajah Jepang kepada para pejuang di Kabupaten Banyumas berjalan tanpa pertumpahan darah. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 15 Oktober 1945 bertempat di Markas Komando Kesatuan Pertahanan Jawa Tengah di Magelang.
Kiprah perjuangan Soedirman di Kabupaten Banyumas sudah dimulai sejak pemerintah mulai merintis terbentuknya ketentaraan Negara di Republik Indonesia yang baru berdiri. Pada tanggal 1 s.d 3 September 1945 para bekas perwira PETA, Heiho, Seinendan, KNIL di Kabupaten Banyumas bertemu untuk membicarakan perihal pembentukan Badan Keamanan Rakyat ( BKR ) Banyumas. Pertemuan tersebut diadakan di gedung Yosodarmo di jalan Yosodarmo Purwokerto, dan dipimpin langsung oleh Soedirman.
Setelah BKR terbentuk dan Soedirman terpilih sebagai pimpinan umumnya, mereka bermarkas di gedung Landraat yang terletak di sebelah timur alun-alun Purwokerto.
Belum lama setelah BKR Kabupaten Banyumas terbentuk , pada tanggal 5 Oktober 1945 Pemerintah Pusat mengeluarkan Dekrit tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat ( TKR ) , maka para anggota BKR pun mentransformasikan diri menjadi anggota TKR dengan nama kesatuan yang baru yaitu Divisi V TKR dengan komandan Kolonel Soedirman.
13. Monumen Palagan Bondoyudo
Monumen yang dibangun tahun 1977 dan terletak di Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, serta berbentuk tugu yang terdiri dari 3 bagian, yakni bagian alas, tubuh dan puncak ini, dibangun untuk mengenang peristiwa pertempuran antara penjajah Belanda dengan para pejuang Republik Indonesia dari Kompi Priyadi yang terjadi pada tahun 1949.
Setelah kemerdekaan Indonesia dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945, rupanya penjajah Belanda berkeinginan untuk menguasai kembali Indonesia. Tentu saja hal tersebut mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia.
Masyarakat Gununglurah dan sekitarnya yang dipelopori Kompi Priyadi dengan semangat heroik bahu membahu bertempur melawan penjajah Belanda dan berhasil mengusirnya dari kawasan tersebut.
14. Pendopo Si Panji Saksi Pengumuman Kemerdekaan
Dengan khidmat Bung Karno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia , pada tanggal 17 Agustus 1945, pukul 10.00 wib dan disiarkan langsung oleh RRI pusat Jakarta. Tetapi momen bersejarah tersebut gaungnya tidak sampai ke seluruh pelosok tanah air, termasuk di Kabupaten Banyumas. Hal demikian sangat bisa dimaklumi karena meskipun Indonesia sudah merdeka, kekuatan Jepang di Indonesia waktu itu masih nyata.
Baru setelah Soedirman berhasil mengadakan perundingan dengan pihak Jepang untuk pengambilalihan kekuasaan, maka para pemimpin di Kabupaten Banyumas merencanakan untuk mengadakan pengumuman bahwa Indonesia sudah merdeka.
Pengumuman yang digagas oleh Residen Banyumas Mr. Iskak Tjokrohadisoerjo baru dilaksanakan pada hari Minggu, 30 September 1945 di Pendopo Kabupaten Banyumas Purwokerto.
Pagi harinya, yaitu Senin, 1 Oktober 1945, Soedirman menggerakkan demonstrasi dan pawai bersenjata bambu runcing di kota-kota di daerah Banyumas sebagai dukungan kepada Pemerintah Daerah. Sejak saat itu seluruh kantor-kantor yang ada di Kabupaten Banyumas diambil alih oleh para putra daerah sendiri. Dan sejak saat itu pula masyarakat Banyumas mengetahui bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebenarnya sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945.
15. Pertapan Kalimanggeng
Kalimanggeng terletak di perbatasan Desa Cibangkong kecamatan Pekuncen dan Grumbul Sawangan / Kracak Kecamatan Ajibarang.
Tempat ini disebut pertapan karena banyak orang yang sengaja bertapa, mengheningkan cipta, nyepi, bersemedi dll dengan berbagai maksud dan tujuan.
Memasuki kawasan itu rasa sejuk akan segera menerpa, karena pohon poh yang sangat rimbun dan besar yang diperkirakan sudah berumur ratusan tahun tumbuh di tempat itu. Suasana alam nan asri dengan nuansa hutan ,ditambah suara gemericik tempuran sungai Pancuran Taman dan sungai Bangkong menyebabkan kesan hening dan menyeramkan akan hinggap di sanubari siapapun yang berkunjung di tempat itu, apalagi pada waktu malam hari.
Menurut penuturan juru kunci, beberapa leluhur yang dimakamkan di pertapaan tersebut , yaitu :
- Kaki Sugih
- Eyang Praptin
- Mbah Mangkubumi
- Mbah Jamur
- Eyang Rentansari.
mereka adalah pengikut Syech Makhdumwali yang menyertai perjalanan Syech Makdumwali ketika mendapat tugas dari Sultan Demak untuk mengislamkan wilayah Banten. (ditulis kembali oleh Slamet Waluyo. Ama.Pd Pamong Budaya Kesenian Dinbudar Kab. Banyumas)
16. Makam Kyai Mranggi
Secara Administrasi Makam ini masuk dalam wilayah Desa Kejawar, Kecamatan Banyumas, kira-kira 20 km dari kota purwokerto.
Untuk menuju ke lokasi makam Kyai Mranggi, diperlukan perjuangan fisik yang cukup berat, karena peziarah harus berjalan kaki melawati jalan setapak yang mendaki serta menuruni perbukitan yang banyak ditanami pohon jati dan pohon tahun milik masyarakat. Sebelum memasuki kawasan makam, peziarah harus terlebih dahulu menyeberangi sungai Gajah Endra sebagai simbol pensucian jiwa raga sebelum memasuki tempat yang luhur ( makam ). Yang dimakamkan di tempat tersebut yaitu Kyai Mranggi Semu dan Istrinya seorang puteri dari Keraton Pajang.
Menurut penuturan juru pelihara makam tersebut, Bapak Parjan Partowireja, Kyai Mranggi adalah anak ke.10 dari Brawijaya V. Sejak makin berkembangnya Kerajaan Demak dan akhirnya pindah ke Kasultanan Pajang, sisa sisa keturunan penguasa Majapahit saling berebut kekuasaan dan saling membunuh, sehingga mereka yang ingin selamat melarikan diri ke berbagai wilayah. Salah satu diantaranya yaitu Raden Surenggana yang telah memeluk agama Islam. Raden Surenggana bermukim di kawasan hutan yang sekarang masuk dalam wilayah Kejawar. Raden Surenggana memiliki keahlian membuat wrangka keris yang secara berkala pada bulan maulud hasil keahliannya itu beliau hadiahkan kepada Sultan Pajang. Sultan Pajang sangat terkesan dengan ketulusan dan hasil karya Raden Surenggana, sehingga Sultan Pajang memberinya gelar Kyai Mranggi Semu dan beliau diperkenankan menikah dengan putri dari keraton Pajang. Dalam perkawinannya yang pertama dengan Nyai Mranggi maupun perkawinan kedua dengan puteri dari Keraton Pajang , rupanya Kyai Mranggi tidak dikarunian seorang anakpun , sehingga beliau memungut / memelihara seorang anak yang sejak kecil sudah menampakkan sifat-sifat seorang kestaria yakni Raden Katuhu , yang kemudian terkenal dengan nama Raden Joko Kaiman yang kelak menjadi Adipati Banyumas I bergelar Adipati Mrapat.
17. Makam Nyai Mranggi
Makam ini terletak di dataran tinggi dalam kawasan hutan yang sangat sepi , sehingga masyarakat sekitar di kawasan itu menyebutnya dengan wana sepi ( wana = hutan ) . Secara administratif makam ini masuk dalam wilayah Desa Binangun, Kecamatan Banyumas kurang lebih 25 km dari kota Purwokerto.
Untuk mencapai kawasan makam tersebut perlu perjuangan fisik yang ekstra keras, karena hanya dengan berjalan kaki melewati jalan setapak penuh ilalang yang naik dan turun, peziarah baru bisa mencapainya.
Pemandangan dari kawasan makam sangatlah elok, karena tepat di selatan makam terdapat lembah dan dataran rendah yang sangat subur dengan tanaman tahun dan ladang – ladang penduduk.
Menurut penuturan juru kunci makam Bp. Dharmanto, Nyai Mranggi Wanasepi adalah istri pertama dari Kyai Mranggi Semu di Kejawar. Sebagai tenda bekti dan kesetiaan, serta penghormatan kepada sang suami, sejak Kyai Mranggi menikah lagi dengan puteri keraton Pajang, Nyai Mranggi memilih hidup terpisah dari Kyai Mranggi, untuk bermukim di sebuah kawasan hutan yang sepi.
Nyai Mranggi tidak mau menggangu kebahagiaan Kyai Mranggi Semu yang memperoleh kanugerahan puteri keraton. Sampai akhir hayatnya beliau berdiam di tempat tersebut dan dimakamkan di kawasan tersebut.
|
|
.
18. Petilasan Mahameru
Petilasan di tempai ini hanyalah sebuah tugu batu dan sebuah megalitik tempat pemujaan ritual kuno / ritual tradisional. yang tidak diketahui kapan dibangun dan siapa yang membangun.
Petilasan Mahameru terletak di sebuah puncak gunung kurang lebih 1000 m tingginya dari permukaan air laut dan berada di kawasan hutan pinus serta tanaman keras lain milik Perhutani. Untuk mencapai
puncak tersebut diperlukan perjuangan yang berat , karena hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki mendaki lereng gunung yang sangat terjal. Jalan setapak masih sangat alami sehingga sangat licin terutama pada saat musim penghujan.
Secara administratif kawasan Mahameru masuk di wilayah Desa Watu Agung, Kecamatan Tambak, kurang lebih 75 km dari kota purwokerto.
Sebagaimana keyakinan masyarakat kuno, bahwa tempat-tempat suci biasanya diyakini berada di puncak-puncak gunung atau di puncak bukit, atau didataran tinggi yang lain. Karena di tempat itulah diyakini para dewa dan roh-roh nenek moyang bersemayam.
Meru adalah sebuah simbol tempat suci tertinggi dalam keyakinan kuno / keyakinan tradisional yang dilambangkan dengan bentuk gunung. Mahameru berarti tempat paling suci dalam ajaran ritual kuno / keyakinan tradisional.
Menurut ceritera masyarakat, yang pertama kali membangun dan berdiam di tempat tersebut yakni Eyang Gusti atau ada pula yang menyebut Eyang Permana yang hidup pada masa Kadipaten Pasirluhur. Eyang Gusti atau Eyang Permana dalam perjalan pisowanan dari Pasir Luhur ke Demak lewat daerah selatan dan sempat berdiam beberapa lama di kawasan tersebut. Untuk menghargai dan mengenang petilasan Eyang Gusti atau Eyang Permana tersebut , masyarakat sejak dahulu melaksanakan ziarah dan napak tilas dengan berbagai maksud dan tujuan.
19. Makam Cimeleng
Makam ini terletak di sebuah kawasan di tepian sungai Logawa, bahkan dapat dikatakan tepat berada di bibir sungai karena terus menerus terkikis aliran sungai. Letak makam ini tepat sebelah utara jalan raya yang menghubungkan antara Purwokerto dan Kecamatan Karanglewas, kurang lebih 7 km dari kota Purwokerto. Secara administratif makam Cimeleng terletak di Desa Pasir Kecamatan Karanglewas.
Menurut penuturan juru kunci makam, yaitu Bapak Ali Mahtum nama Cimeleng berasal dari kata ci dan meleng. Ci dalam bahasa Sunda berarti sungai, sedangkan meleng berarti bersemedi, atau menyepi, yang berarti Cimeleng adalah tempat menyepi atau bersemedi di tepi sungai. Hal tersebut tentunya sangat cocok dengan lokasi makam.
Bapak Ali Mahtum juga menuturkan bahwa yang dimakamkan di tempat tersebut yakni Syech Makdum Umar seorang murid setia dari Syech Makdum Wali. Kesetiaan itu diwujudkan dengan kemanapun Syech Makhdum Wali pergi menyebarkan agama Islam, Syech Makhdum Umar selalu mengikuti
Terakhir Syech Mahkdum Wali berdiam di Kadipaten Pasir Luhur hingga akhir hayatnya dan dimakamkan di Astana Kadipaten Pasir Luhur Ambawang Gula Gumantung
Sedangkan Syech Makhdum Umar dimakamkan di luar kawasan astana kadipaten yakni di temnpat ini, kurang lebih 300 meter dari makam Syech Mahkdum Wali
.
20. Masjid Nur Sulaiman
Masjid Nur Sulaiman Banyumas dibangun tahun 1755 pada masa pemerintahan Adipati Banyumas Yoedanegara II dan diarsiteki oleh Bapak Nur Daiman Demang Gumelem I sekaligus sebagai Penghulu Masjid yang pertama. Sebagaimana konsep tata letak bangunan pada masa pemerintahan kerajaan di Jawa, posisi masjid selalu berada di sebelah barat alun-alun sebagai simbol kebaikan, berseberangan dengan letak penjara sebagai symbol kejahatan di sebelah timur alun-alun .
|
|
Secara administrasi Masjid ini berada dalam wilayah Desa Sudagaran, Kecamatan Banyumas kurang lebih 25 km dari kota Purwokerto.
Karena tidak adanya sumber tertulis yang pasti, menurut penuturan juru Pelihara Benda Cagar Budaya Masjid Nur Sulaiman bapak Djoni M. Faried, nama Nur Sulaiman berasal dari nama Nur Daiman.
Masjid Nur Sulaiman di bangun di atas tanah seluas 4.950 m2,
Ruang utama: 22 x 15.5 m , Tinggi bangunan : 14.5 m, Ruang serambi: 11 x 22 m , Ruang mihrab: 4 x 2.2 m, tinggi 5.9 m. Mimbar: 2.2 x 1.2m duwure 1.67 m. Maksura: 2.3 x 2.3 m
Masjid Nur Sulaiman memiliki ciri khusus dan keunikan antara lain ;
· Denah bujur sangkar
· Ada serambi
· Batur tinggi
· Pintu utama di sebelah timur
· Mimbar berbentuk tandu
· Terdapat Maksura ( tempat Shalat khusus penguasa)
· Mihrab (ruang imam) ialah tajug susun 2 dilengkapi mahkota berbentuk mirip gada.
· 4 pilar utama (saka guru)
· 12 pilar pendukung (saka pengarak)
21. SMA Negeri II Purwokerto
Gedung SMA II Purwokerto terletak di jantung kota Purwokerto , di tempat yang sangat strategis , tepatnya di Jalan Gatot Soebroto Purwokerto, dan masuk dalam wilayah Kelurahan Sokanegara , Kecamatan Purwokerto Timur.
Gedung bersejarah yang dibangun di areal seluas 30.000 m2 dengan luas bangunan panjang 100 m , lebar 10 m dan tinggi 8 m ini, dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1929, yang memang diperuntukkan bagi sekolah Kweekscool / Normal School, dan dipergunakan sampai diambil alihnya pemerintahan Hindia Belanda oleh penjajah Jepang Tahun 1942.
Oleh penjajah Jepang Kweekschool dibubarkan dan gedungnya dipakai sebagaii asrama Ken Pe Tai ( Polisi Militer Jepang ). Setelah Jepang kalah Belanda berupaya masuk kembali ke Indonesia tahun 1947 dan gedung ini digunakan sebagai markas tentara Belanda hingga tahun 1949. Setelah Belanda kalah dan harus meninggalkan Indonesia tahun 1949, bekas asrama Belanda ini dipergunakan sebagai asrama tentara Bataliyon Rajawali.
Dan ketika Gatot Subroto menjabat sebagai komandan Divisi di Jawa Tengah tahun 1950 , fungsi gedung dikembalikan seperti semula yaitu sebagai gedung sekolah.
22. Panembahan Watu Kuning
Terletak di wilayah RT 05 / III Kelurahan Rejasari , Kecamatan Purwokerto Barat. Panembahan berbentuk sebuah batu besar berukuran 4 x 4 meter dan tinggi 1,5 m diapit oleh 3 buah pohon besar yang diperkirakan berusia ratusan tahun.
Menurut penuturan nara sumber Bapak Casam seorang Purnawirawan TNI yang juga salah satu cucu Bapak Somadiwangsa, bahwa pada jaman dahulu sekitar tahun 1800 m pada suatu malam terlihatlah seberkas sinar panjang di angkasa. Setelah ditelusuri ternyata sinar tersebut menuju suatu tempat yang sekarang dinamakan panembahan watu kuning. Masyarakat menemukan benda yang terjatuh dari angkasa ternyata sebuah benda mirip batu tapi berwarna kuning. Masyarakat meyakini bahwa benda yang jatuh di kawasan panembahan adalah sebuah batu meteor.
| |||
|
Pada jaman perang Diponegoro kawasan tersebut dijadikan tempat beristirahat dan berkonsolidasi. Salah satu tokoh yang terlibat langsung dalam peperangan Diponegoro yang akhirnya berdiam dan dimakamkan di tersebut yaitu Budasari Wirabumi. Untuk mengenang jasa-jasa tokoh tersebut pada waktu waktu tertentu banyak masyarakat yang berziarah kubur serta menyepi dan bersemedi dengan berbagai maksud dan tujuan ( Ditulis kembali oleh Rohadi Edy Sasmito, Ama.Pd Pamong Budaya Kepurbakalaan Dinbudar Kab. Banyumas)
23. Panembahan Singaperbangsa
Panembahan ini terletak di Kelurahan Karanglewas Lor, Kecamatan Purwokerto Barat. Bangunan berupa makam verdiri di atas tanah yang cukup luas, dengan luas bangunan 48 m2. Angka tahun yang tercatat pada nisan di pemakaman tersebut tertulis 1826.
C. PENINGGALAN NILAI – NILAI TRADISI
Peninggalan nilai-nilai tradisi yang ada di Kabupaten Banyumas biasanya direfleksikan melalui upacara-upacara tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat pada saat-saat tertentu, dan untuk keperluan tertentu pula. Biasanya mereka sudah terorganisir dalam pelaksanaan yang berbentuk lembaga-lembaga adat.
1. Lembaga adat yang mewadahi kegiatan upacara adat tradisional berkaitan dengan kegiatan spiritual/kepercayaan yang ada di masyarakat.
a. Lembaga adat upacara adat tradisional Suran
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional Suran dalam rangka memperingati tahun baru Jawa, yang dilaksanakan pada bulan Sura (bulan pertama tahun Jawa) yang biasanya jatuh pada hari Selasa atau Jumat pada pasaran Kliwon, sebagai ungkapan puji syukur kepada Yang Maha Kuasa disertai harapan agar pada masa yang akan datang keadaan/kehidupan (panen hasil bumi) menjadi lebih baik. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat. Struktur lembaga ini terdiri dari pelindung/penasihat, ketua, sekretaris, bendahara dan dibantu seksi-seksi sesuai dengan kebutuhan. Pelindung/penasihat lembaga ini biasanya adalah kepala desa atau tokoh masyarakat yang dituakan.
Adapun urutan prosesinya antara daerah satu dan lainnya pada intinya adalah sama, yaitu : diawali dengan ziarah / bersih kuburan pepunden / leluhur, slamatan / syukuran (potong kambing, tumpengkuat / rombyong / panca warna / sangga buana / uceng) dipimpin ulama / kesepuhan setempat dan diakhiri dengan mengirim makanan kepada orang yang lebih tua. Untuk wilayah kecamatan Purwojati (Desa Karangtalun lor) prosesinya dimulai dari Ngasrep (tidak makan minum yang berasa), lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk) , makan umbi-umbian (pala pendem) dan diakhiri dengan menaruh baskom diatap rumah pada tengah malam.
|
Sedangkan di Kecamatan Purwokerto timur (Kel. Arcawinangun) l00 meter dari tempat kegiatan upacara adat suran disebelah kanan kiri jalan ditancapkan obor yang maknanya sebagai penerang hati.
Sesaji/ube rampenya adalah:
a.Tumpeng kuat / sangga buana / panca warna / emas / uceng / slamet , maknanya adalah mohon keselamatan/kekuatan pada yang Maha kuasa.
b.Tumpeng rombyong, maknanya adalah mohon keselamatan/kekuatan pada yang Maha kuasa.,selain itu agar dirubung / robyong (kebersamaan)
c.Kembang telon, maknanya adalah manunggalnya antara Tuhan, manusia dan alam
d.Ingkung ayam/potong kambing,maknanya adalah ungkapan rasa syukur kepada yang Maha kuasa serta perwujudan manunggal
e.Kluban/uraban maknanya adalah perwudan rasa tepa salira
f.wedang putih maknanya adalah untuk tujuan kesucian
g.Wedang kopi pahit maknanya adalah perwujudan rasa susah yang ada pada manusia
h.wedang arang-arang kambang (air putih dicampur jipang) dan wedang jembawuk (air kopi dicampur santan kelapa) ,maknanya adalah ungkapan rasa syukur kepada yang telah memberi jalan kehidupan
i. Wedang teh manis, maknaya adalah sebagai perwujudan rasa senang
b.Lembaga adat upacara adat tradisional Jaro Rojab
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat dan kerabat keturunan Kyai Tolih di desa Cikakak Kecamatan Wangon untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional Jaro Rojab dalam rangka memperingati maulud nabi Muhamad SAW, yang dilaksanakan pada bulan rajab yang biasanya jatuh pada hari Selasa atau Jumat pada pasaran Kliwon. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain.
Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat. Struktur lembaga ini terdiri dari pelindung/penasihat, ketua, sekretaris, bendahara dan dibantu seksi-seksi sesuai dengan kebutuhan. Pelindung/penasihat lembaga ini biasanya adalah kepala desa atau tokoh masyarakat yang dituakan dan ketuannya adalah para juru kunci, komplek makam kyai Tolih dan Masjid Sakatunggal Cikakak.
Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat. Struktur lembaga ini terdiri dari pelindung/penasihat, ketua, sekretaris, bendahara dan dibantu seksi-seksi sesuai dengan kebutuhan. Pelindung/penasihat lembaga ini biasanya adalah kepala desa atau tokoh masyarakat yang dituakan dan ketuannya adalah para juru kunci, komplek makam kyai Tolih dan Masjid Sakatunggal Cikakak.
Adapun urutan prosesinya dimulai dengan datangnya masyarakat / kerabat keturunan kyai Tolih dengan membawa bambu sebagai bahan pembuatan pagar (jaro). Setelah bambu terkumpul maka secara bersama –sama menyiapkan bahan untuk pagar, lalu dicuci dengan air sungai yang mengalir disekitar komplek makam kyai Tolih, setelah bersih dipasang mulai dari komplek makam kyai Tolih sampai dengan komplek masjid Sakatuggal. Kegiatan ini dimulai pada pagi hari dan selesai pada siang hari sebelum atau bertepatan dengan waktu sholat dhuhur. Setelah selesai sholat diadakan kenduren yang diikuti oleh mereka yang terlibat dalam upacara penggantian jaro dan pada malam harinya diadakan pengajian yang diisi oleh kyai kondang yang berasal sekitar daerah tersebut.
Sesaji atau uberampenya adalah ;
- Tumpeng yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Daging kambing / ayam yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi
- Bunga dan minyak wangi yang maknanya adalah agar apa yang menjadi permohonannya cepat diterima / dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, sehingga mereka dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan.
c.Lembaga adat upacara adat tradisional Unggah – unggahan
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat dan kerabat keturunan Bonokeling di desa Pakuncen kecamatan Jatilawang untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional unggah - unggahan dalam rangka memperingati datangnya bulan suci romadhan, yang dilaksanakan pada bulan sadran yang biasanya jatuh pada hari Selasa atau Jumat pada pasaran Kliwon. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan.
Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat. Struktur lembaga ini terdiri dari pelindung/penasihat, ketua, sekretaris, bendahara dan dibantu seksi-seksi sesuai dengan kebutuhan. Pelindung/penasihat lembaga ini biasanya adalah kepala desa atau tokoh masyarakat yang dituakan dan ketuannya adalah juru kunci, komplek makam Bonokeling desa Pakuncen Kecamatan Jatilawang dengan dibantu oleh para pemanggul dan bedogol (orang kepercayaan).
Adapun urutan prosesinya dimulai satu hari sebelum hari H diamana ditandai dengan datangnya para anak keturunan Bonokeling dari daerah Kroya, Adiraja, Daunlumbung, Kalikudi dan Pesugihan (cilacap) yang biasanya datang dengan berjalan kaki dan berpakaian kejawen serba hitam dengan membawa segala macam ube rampe untuk keperluan upacara tersebut. Kemudian sesampainya di komplek makam Bonokeling mereka ditampung di balai agung yang memang telah dipersiapkan secara turun temurun sejak zaman Bonokeling hidup, sambil beristrirahat mereka mempersiapkan segala ube rampe untuk upacara adat keesokan harinya. Pada hari pelaksanaan upacara yang ditandai dengan matangnya masakan becek (makanan semacam gule daging kambing / ayam) untuk disajikan dalam acara kenduren, lalu diadakan acara ritual pisowanan (ziarah kubur) yang sebelumnya mereka harus bersuci dengan cara membersihkan mulut, jempol kaki, telinga, hidung dan muka, acara ini dipandu oleh juru kunci selaku pemangku adat dengan dibantu para bedogol dan pemanggul (orang kepercayaan). Setelah acara pisowanan selesai dilanjutkan dengan kenduren yang dimulai selepas mahrib dan diikuti oleh kurang lebih 5000 orang dan dipandu oleh juru kunci.
Pagi harinya setelah acara ritual uanggah – unggahan selesai para tamu yang mayoritas kaum tani melakukan bersih – bersih sisa kenduren dan mengumpulkannya untuk dibawa pulang, karena mereka menyakini nantinya dapat digunakan sebagai sarana penolak bala dan penolak hama tanaman pertanian, hal ini dilakukan karena mereka mengangap bahwa Bonokeling adalah Priyagung dari Pasir Luhur yang mengembara dan akhirnya menetap di desa Pakuncen Kecamatan Jatilawang serta memberikan pelajaran tatacara bercocok tanam dan beternak kepada orang tua atau leluhur mereka.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Daging kambing / ayam yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi
- Bunga dan minyak wangi yang maknanya adalah agar apa yang menjadi permohonannya cepat diterima / dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, sehingga mereka dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan.
Rangkaian Uparaca Tradisional Unggah Unggahan
Hari Pertama
Para tamu yang terdiri dari kaum tani dan anak keturunan Bonokeling mulai berdatangan sekitar pukul 11.00 WIB, termasuk tamu dan anak keturunan Bonokeling yang berasal dari daerah Kroya, Adiraja, Daun Lumbung, Kalikudi, dan Pasugihan, Cilacap yang biasanya datang dengan berjalan kaki dan membawa segala macam uba rampe untuk keperluan kenduren (slametan), serta lengkap dengan pakaian kejawen. Selama perjalanan mereka tidak saling bertegur sapa (tapa bisu).
Kemudian para tamu dan anak keturunan Bonokeling bermalam di balai yang memang dipersiapkan sejak dahulu secara turun-temurun mulai zaman mbah Bonokeling dan berada di depan rumah juru kunci/pemangku adat, mereka beristirahat sambil mempersiapkan segala sesuatunya untuk keperluan upacara adat tradisional unggah-unggahan.
Di dalam balai tersebut masih tersimpan benda-benda peninggalan mbah Bonokeling berupa seperangkat alat keperluan dapur dan alat bunyi-bunyian.
Hari Ke dua
Upacara adat tradisional unggah-unggahan dimulai pukul 09.00 WIB didahului dengan acara pisowanan di mana para tamu, anak keturunan Bonokeling dan peziarah sowan ke makam panembahan Bonokeling dipimpin juru kunci/pemangku adat yang bernama mbah Karyasari didampingi para bedhogol dan pemanggul (para pembantu kepercayaan juru kunci).
Pisowanan dilaksanakan secara berurutan sampai semua tamu, anak keturunan Bonokeling dan peziarah melakukan sowan ke makam panembahan Bonokeling untuk mengirim doa dan memohon berkah (bagi yang meyakini).
Sementara para tamu, anak keturunan Bonokeling dan peziarah melakukan ritual pisowanan, masyarakat dan penduduk sekitar kompleks makam Panembahan Bonokeling melaksanakan bersih kuburan dan perbaikan pagar yang berada di kompleks makam tersebut.
Setelah acara pisowanan selesai, malam harinya selepas maghrib sekitar pukul 18.30 WIB diadakan kenduren secara bersama-sama yang diikuti oleh ratusan bahkan ribuan tamu, anak keturunan Bonokeling dan peziarah, acara ritual kenduren ini dipimpin oleh juru kunci yang didampingi para bedhogol dan pemanggul.
Hari Ketiga
Para tamu anak keturunan Bonokeling dan peziarah yang kebanyakan kaum tani melakukan bersih-bersih sisa-sisa kenduren, yang menurut keyakinan setempat sisa-sisa kenduren tersebut kemudian dibawa pulang dan disimpan sebagai sarana penolak bala dan penolak hama tanaman pertanian.
Diyakini oleh mereka bahwa mbah Bonokeling adalah orang pertama yang memberi pelajaran dan mengajari tata cara bercocok tanam/bertani kepada anak keturunan dan masyarakat sekitarnya, maka tidaklah heran kalau sebagian besar tamu dan peziarah mayoritas adalah kaum tani.
Setelah selesai bersih-bersih para tamu dan peziarah mulai pulang ke rumah dan daerahnya masing-masing.
Keterangan:
Upacara adat teradisional unggah-unggahan dilaksanakan pada bulan Sadran menyambut datangnya bulan suci Ramadan, setelah itu pada bulan Syawal dilaksanakan upacara adat tradisional udun-udunan yang prosesi maupun ritualnya tidak jauh berbeda dengan upacara adat tradisional unggah-unggahan.
d. Lembaga adat upacara adat tradisional udun – udunan
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat dan kerabat keturunan Bonokeling di desa Pakuncen kecamatan Jatilawang untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional udun -udunan dalam rangka memperingati hari raya idul fitri, yang dilaksanakan pada bulan syawal hari ketujuh yang biasanya jatuh pada hari Selasa atau Jumat pada pasaran Kliwon. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat. Struktur lembaga ini terdiri dari pelindung/penasihat, ketua, sekretaris, bendahara dan dibantu seksi-seksi sesuai dengan kebutuhan. Pelindung/penasihat lembaga ini biasanya adalah kepala desa atau tokoh masyarakat yang dituakan dan ketuannya adalah juru kunci, komplek makam Bonokeling desa Pakuncen Kecamatan Jatilawang dengan dibantu oleh para pemanggul dan bedogol (orang kepercayaan).
Adapun urutan prosesinya dimulai satu hari sebelum hari H diamana ditandai dengan datangnya para anak keturunan Bonokeling dari daerah Kroya, Adiraja, Daunlumbung, Kalikudi dan Pesugihan (cilacap) yang biasanya datang dengan berjalan kaki dan berpakaian kejawen serba hitam dengan membawa segala macam ube rampe untuk keperluan upacara tersebut. Kemudian sesampainya di komplek makam Bonokeling mereka ditampung di balai agung yang memang telah dipersiapkan secara turun temurun sejak zaman Bonokeling hidup, sambil beristrirahat mereka mempersiapkan segala ube rampe untuk upacara adat keesokan harinya. Pada hari pelaksanaan upacara yang ditandai dengan matangnya masakan becek (makanan semacam gule daging kambing / ayam) untuk disajikan dalam acara kenduren, lalu diadakan acara ritual pisowanan (ziarah kubur) yang sebelumnya mereka harus bersuci dengan cara membersihkan mulut, jempol kaki, telinga, hidung dan muka, acara ini dipandu oleh romo juru kunci selaku pemangku adat dengan dibantu para bedogol dan pemangul (orang kepercayaan). Setelah acara pisowanan selesai dilanjutkan dengan kenduren yang dimulai selepas mahrib dan diikuti oleh kurang lebih 5000 orang dan dipandu oleh romo juru kunci.
Pagi harinya setelah acara ritual udun - udunan selesai para tamu yang mayoritas kaum tani melakukan bersih – bersih sisa kenduren dan mengumpulkannya untuk dibawa pulang, karena mereka menyakini nantinya dapat digunakan sebagai sarana penolak bala dan penolak hama tanaman pertanian, hal ini dilakukan karena mereka mengangap bahwa Bonokeling adalah Priya gung dari pasir Luhur yang mengembara dan akhirnya menetap di desa Pakuncen Kecamatan jatilawang serta memberikan pelajaran tatacara bercocok tanam dan beternak kepada orang tua atau leluhur mereka.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Daging kambing / ayam yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi
- Bunga dan minyak wangi yang maknanya adalah agar apa yang menjadi permohonannya cepat diterima / dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, sehingga mereka dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan.
e. Lembaga adat upacara adat tradisional sedekah bumi
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional sedekah bumi yang dilaksanakan pada bulan sura (bulan pertama tahun jawa) bersamaan dengan peringatan tahun baru jawa, tetapi ada juga yang melaksanakan pada bulan apit (bulan kesebelas tahun jawa) khususnya di wilayah Kecamatan Wangon yang biasanya jatuh pada hari Selasa atau Jumat pada pasaran Kliwon. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat. Struktur lembaga ini terdiri dari pelindung/penasihat, ketua, sekretaris, bendahara dan dibantu seksi-seksi sesuai dengan kebutuhan. Pelindung/penasihat lembaga ini biasanya adalah kepala desa atau tokoh masyarakat yang dituakan
Adapun urutan prosesinya dilaksanakan diperempatan jalan desa dengan tumpengan / takiran (makan bersama) dan biasanya dilengkapi dengan lauk daging kambing / ayam, dimana kepala kambing ditanam diperempatan jalan desa. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang ulama atau kesepuhan setempat.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng Slamet / robyong yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Daging kambing / ayam yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi
- Takir maknanya adalah bahwa segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan baik tanpa meningalkan azas silaturohmi, kebersamaan dan kegotong royongan
- Bunga dan minyak wangi yang maknanya adalah agar apa yang menjadi permohonannya cepat diterima / dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rizki dan karuniannya berupa panen hasil bumi yang melimpah disamping itu mereka juga dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan.
f. Lembaga adat upacara adat tradisional sedekah Panembahan
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional sedekah panembahan yang dilaksanakan pada bulan apit (bulan kesebelas tahun jawa) khususnya di wilayah Kecamatan Jatilawang yang biasanya jatuh pada hari Selasa atau Jumat pada pasaran Kliwon. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat. Struktur lembaga ini terdiri dari pelindung/penasihat, ketua, sekretaris, bendahara dan dibantu seksi-seksi sesuai dengan kebutuhan. Pelindung/penasihat lembaga ini biasanya adalah kepala desa atau tokoh masyarakat yang dituakan
Adapun urutan prosesinya dilaksanakan di makam leluhur (panembahan) desa dengan tumpengan / takiran (makan bersama) dan biasanya dilengkapi dengan lauk daging kambing / ayam, dimana kepala kambing ditanam diperempatan jalan desa. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang ulama atau kesepuhan setempat.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng Slamet / robyong yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Daging kambing / ayam yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi
- Takir maknanya adalah bahwa segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan baik tanpa meningalkan azas silaturohmi, kebersamaan dan kegotong royongan
- Bunga dan minyak wangi yang maknanya adalah agar apa yang menjadi permohonannya cepat diterima / dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rizki dan karuniannya berupa panen hasil bumi yang melimpah disamping itu mereka juga dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan serta mendoakan arwah leluhur agar supaya diterima disisi Tuhan Yang Maha Esa
g.Lembaga adat upacara adat tradisional nyadran
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional nyadran yang dilaksanakan pada
bulan sadran (bulan kedelapan tahun jawa) khusus untuk di wilayah Kecamatan Jatilawang yang biasanya jatuh pada hari Selasa, Rabu, atau Jumat pada pasaran Kliwon. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat. Struktur lembaga ini terdiri dari pelindung/penasihat, ketua, sekretaris, bendahara dan dibantu seksi-seksi sesuai dengan kebutuhan. Pelindung/penasihat lembaga ini biasanya adalah kepala desa atau tokoh masyarakat yang dituakan
Adapun urutan prosesinya diaktualisasikan di makam leluhur (panembahan) desa dengan bersih – bersih kuburan dan setelah itu diteruskan dengan kenduren di komplek makam / kuburan, berupa tumpengan dan biasanya dilengkapi dengan lauk daging kambing / ayam. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang ulama atau kesepuhan setempat.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng Slamet / robyong / Tumpeng Kuat yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Daging kambing / ayam yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi
- Takir maknanya adalah bahwa segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan baik tanpa meningalkan azas silaturohmi, kebersamaan dan kegotong royongan
- Bunga dan minyak wangi yang maknanya adalah agar apa yang menjadi permohonannya cepat diterima / dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rizki dan karuniannya, disamping itu mereka juga dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan serta mendoakan arwah leluhur agar supaya diterima disisi Tuhan Yang Maha Esa.
h.Lembaga adat upacara adat tradisional Perlon
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional perlon yang dilaksanakan dalam satu tahun empat kali yaitu pada bulan sadran (bulan kedelapan tahun jawa),dengan upacara adat unggah – ungahan,menjelang tanam padi, pada bulan syawal (bulan kedelapan tahun jawa),dengan upacara adat turunan, dan sehabis panen. Kegiatan ini masih dilaksanakan di wilayah Kecamatan Jatilawang yang biasanya jatuh pada hari Selasa, Rabu, atau Jumat pada pasaran Kliwon. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat. Struktur lembaga ini terdiri dari pelindung/penasihat, ketua, sekretaris, bendahara dan dibantu seksi-seksi sesuai dengan kebutuhan. Pelindung/penasihat lembaga ini biasanya adalah kepala desa atau tokoh masyarakat yang dituakan
Adapun urutan prosesinya diaktualisasikan di makam leluhur (panembahan) desa dengan bersih – bersih kuburan dan setelah itu diteruskan dengan kenduren di komplek makam / kuburan, berupa tumpengan dan biasanya dilengkapi dengan lauk daging kambing / ayam. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang ulama atau kesepuhan setempat.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng Slamet / robyong / Tumpeng Kuat yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Daging kambing / ayam yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi
- Takir maknanya adalah bahwa segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan baik tanpa meningalkan azas silaturohmi, kebersamaan dan kegotong royongan
- Bunga dan minyak wangi yang maknanya adalah agar apa yang menjadi permohonannya cepat diterima / dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rizki dan karuniannya, berupa keselamatan dan panen hasil bumi yang melimpah, disamping itu mereka juga dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan serta mendoakan arwah leluhur agar supaya diterima disisi Tuhan Yang Maha Esa.
i. Lembaga adat upacara adat tradisional Penjamasan Jimat / Pusaka
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional Penjamasan Jimat Pusaka di Kalibening Desa Dawuhan, Kecamatan Banyumas , Desa Kalisalak dan Gambarsari Kecamatan Kebasen yang dilaksanakan pada bulan mulud yang biasanya jatuh pada hari Selasa, Rabu, atau Jumat pada pasaran Kliwon. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat. Struktur lembaga ini terdiri dari pelindung/penasihat, ketua, sekretaris, bendahara dan dibantu seksi-seksi sesuai dengan kebutuhan. Pelindung/penasihat lembaga ini biasanya adalah kepala desa atau tokoh masyarakat yang dituakan ,ketuanya adalah para juri kunci/pelihara
Adapun prosesinya adalah :
a.Di Desa Kalisalak Kecamatan Kebasen
Prosesinya didahului dengan selamatan pada malam hari menjelang penjamasan. Dan pada pagi harinya dimulai upacara penjamasan yang didahului dengan keluarnya pusaka / jimat peningalan Amangkurat II raja Mataram pada masa pemberontakan Trunojoyo dari tempat penyimpanan dipimpin oeh juru kunci dan ditempatkan di mimbar khusus penjamasan. Adapun proses penjamasannya adalah, untuk senjata tajamdilakukak dengan cara digosok berulang – ulang dengan mengunakan ramuan yang terdiri dari jeruk nipis, dedek (bekatul) dan bubuk warangan kemudian setelah itu dijemur. Untuk bulan yang senjata tajam dilakukan dengan cara pengasapan asap kemenyan. Setelah itu pusaka / jimat dimasukan kembali ketempat penyimpanan.
b. Di Desa Gambarsari Kecamatan Kebasen
Prosesinya didahului dengan selamatan pada malam hari menjelang penjamasan. Dan pada pagi harinya dimulai upacara penjamasan yang didahului dengan keluarnya pusaka / jimat peningalan prajurit Mataram pada waktu menyerbu benteng VOC di Batavia dari tempat penyimpanan dipimpin oeh juru kunci dan ditempatkan di mimbar khusus penjamasan. Adapun proses penjamasannya adalah, untuk senjata tajam dilakukak dengan cara digosok berulang – ulang dengan mengunakan ramuan yang terdiri dari jeruk nipis, dedek (bekatul) dan bubuk warangan kemudian setelah itu dijemur. Untuk bulan yang senjata tajam dilakukan dengan cara pengasapan asap kemenyan. Setelah itu pusaka / jimat dimasukan kembali ketempat penyimpanan.
Di Kalibening Desa Dawuhan Kecamatan Banyumas
Prosesinya didahului dengan selamatan pada malam hari menjelang penjamasan. Dan pada pagi harinya dimulai upacara penjamasan yang didahului dengan keluarnya pusaka / jimat peningalan Mbah Glagah Amba / Mbah kalibening dari tempat penyimpanan dipimpin oeh juru kunci menuju sumur pasucen yang ada dikomplek makam Mbah kalibening. Adapun prosesi penjamasannya adalah, pusaka / jimat dijamas dengan menggunakan air yang diambil dari sumur pasucen, setelah itu ditahlilkan / didoakan di makam Mbah Kalibening kemudian pusaka / jimat dijemur di halaman rumah juru kunci lalu dimasukan kembali ketempat penyimpanan.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng Slamet / robyong / Tumpeng Kuat yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Daging kambing / ayam yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi
- Bunga, kemeyan dan minyak wangi yang maknanya adalah agar apa yang menjadi permohonannya cepat diterima / dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rizki dan karuniannya, berupa keselamatan,terkait dengan kegiatan pelestarian/perawatan/pemeliharaan benda budaya peninggalan sejarah disamping itu mereka juga dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan , kegotong royongan dan penghargaan atas karya seni budaya.
2. Lembaga adat yang mewadahi kegiatan upacara adat tradisional berkaitan dengan kegiatan Pertanian
a. Lembaga adat upacara adat tradisional Mimiti (Nuruti)
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat yang terdiri dari sekelompok kaun tani untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional Mimiti/Nuruti yang dilaksanakan pada menjelang panen padi , tetapi ada juga yang melaksanakan panen padi . Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat. Struktur lembaga ini terdiri dari pelindung/penasihat, ketua, sekretaris, bendahara dan dibantu seksi-seksi sesuai dengan kebutuhan. Pelindung/penasihat lembaga ini biasanya adalah ketua kelompok tani atau tokoh masyarakat yang dituakan
Adapun urutan prosesinya dilaksanakan sawah yang akan ditanami atau dipanen,pelaksanaannya dengan berpatokan kapit karone ( hari kedua atau keempat setelah hari kelahiran/weton yamg punya sawah)diperempatan jalan desa dengan tumpengan / takiran (makan bersama) dan biasanya dilengkapi dengan lauk ingkung ayam. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang ulama atau kesepuhan setempat.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng Slamet lengkap dengan lauknya yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Ingkung ayam yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi
- Takir maknanya adalah bahwa segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan baik tanpa meningalkan azas silaturohmi, kebersamaan dan kegotong royongan
- Bunga dan minyak wangi yang maknanya adalah agar apa yang menjadi permohonannya cepat diterima / dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rizki dan karuniannya agar supaya memperoleh panen hasil bumi yang melimpah disamping itu mereka juga dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan.
b.Lembaga adat upacara adat tradisional Nuju
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat yang terdiri dari sekelompok kaun tani untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional Nuju yang dilaksanakan pada menjelang panen padi yang bertujuan memohon kepada Yang Maha Kuasa agar tanaman padi dijauhkan dari serangan atau ganguan hama tanaman. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat. Struktur lembaga ini terdiri dari pelindung/penasihat, ketua, sekretaris, bendahara dan dibantu seksi-seksi sesuai dengan kebutuhan. Pelindung/penasihat lembaga ini biasanya adalah ketua kelompok tani atau tokoh masyarakat yang dituakan
Adapun urutan prosesinya dilaksanakan di sawah yang sudah ditanami dan menjelang dipanen, pelaksanaannya dengan berpatokan pada kapit karone ( hari kedua atau keempat setelah hari kelahiran/weton yamg punya sawah) lalu menaburkan cairan (buah jengkol yang direndam dengan air bekas cucian beras (leri) selama tiga hari) sekeliling areal persawahan Kegiatan ini dipimpin oleh seorang ulama atau kesepuhan setempat.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Rendaman jengkol dengan air bekas cucian beras (leri) selama tiga hari maknanya adalah memohon kepada Yang Maha Kuasa agar tanaman padi dijauhkan dari serangan / gangguan hama tanaman.
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rizki dan karuniannya agar supaya tanaman padi dijauhkan dari serangan/gangguan hama tanaman serta memperoleh panen hasil bumi yang melimpah disamping itu mereka juga dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan.
c. Lembaga adat upacara adat tradisional Nglabuhi
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat yang terdiri dari sekelompok kaun tani untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional Nglabuhi yang dilaksanakan pada menjelang panen padi yang bertujuan memohon kepada Yang Maha Kuasa agar dijauhkan dari halangan dan rintangan selama panen padi berlangsung dan memperoleh hasil panen yang melimpah. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat. Struktur lembaga ini terdiri dari pelindung/penasihat, ketua, sekretaris, bendahara dan dibantu seksi-seksi sesuai dengan kebutuhan. Pelindung/penasihat lembaga ini biasanya adalah ketua kelompok tani atau tokoh masyarakat yang dituakan
Adapun urutan prosesinya dilaksanakan dirumah / sawah yang menjelang dipanen, pelaksanaannya dengan berpatokan pada kapit karone ( hari kedua atau keempat setelah hari kelahiran/weton yamg punya sawah). Kegiatan ini dipimpin oleh seorang ulama atau kesepuhan setempat.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng Slamet lengkap dengan lauknya yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Ingkung ayam yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi
- Takir maknanya adalah bahwa segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan baik tanpa meningalkan azas silaturohmi, kebersamaan dan kegotong royongan
- Bunga dan minyak wangi yang maknanya adalah agar apa yang menjadi permohonannya cepat diterima / dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rizki dan karuniannya memperoleh panen hasil bumi yang melimpah disamping itu mereka juga dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan.
d.Lembaga adat upacara adat tradisional Ngeleb
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat yang terdiri dari sekelompok kaun tani untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional Ngeleb yang dilaksanakan setelah panen padi, dimana padi yang telah dikeringkan dikumpulkan di halaman rumah, sebelum dimasukan ketempat penyimpanan (lumbung). Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat. Struktur lembaga ini terdiri dari pelindung/penasihat, ketua, sekretaris, bendahara dan dibantu seksi-seksi sesuai dengan kebutuhan. Pelindung/penasihat lembaga ini biasanya adalah ketua kelompok tani atau tokoh masyarakat yang dituakan
Adapun urutan prosesinya dilaksanakan dirumah, pada malam hari setelah hasil panen kering sebelum dimasukan ketempat penyimpanan (lumbung), pelaksanaannya dengan berpatokan pada kapit karone ( hari kedua atau keempat setelah hari kelahiran/weton yamg punya sawah). Kegiatan ini dipimpin oleh seorang ulama atau kesepuhan setempat.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng Slamet lengkap dengan lauknya yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Ingkung ayam yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi
- Takir maknanya adalah bahwa segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan baik tanpa meningalkan azas silaturohmi, kebersamaan dan kegotong royongan
- Bunga dan minyak wangi yang maknanya adalah agar apa yang menjadi permohonannya cepat diterima / dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rizki dan karuniannya memperoleh panen hasil bumi yang melimpah serta dihilangkan dari penyakit gatal – gatal, disamping itu mereka juga dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan.
e. Lembaga adat upacara adat tradisional Baritan
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat yang terdiri dari sekelompok kaun tani untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional Baritan yang dilaksanakan ditengah – tengah areal persawahan pada musim kering / kemarau dengan tujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar supaya didatangkan hujan sehingga dapat segera dilaksanakan aktifitas disawah dengan memulai menanam padi. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat. Struktur lembaga ini terdiri dari pelindung/penasihat, ketua, sekretaris, bendahara dan dibantu seksi-seksi sesuai dengan kebutuhan. Pelindung/penasihat lembaga ini biasanya adalah ketua kelompok tani atau tokoh masyarakat yang dituakan
Adapun urutan prosesinya dilaksanakan pada pagi sampai dengan sore hari diareal persawahan pada musim kering /kemarau dengan menyiapkan bentukan boneka semacam manusia kemudian diikat dengan empat buah selendang dan ditarik keempat penjuru mata angin oleh kaum lelaki, lalu memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa (Kidung Pujian) agar segera didatangngkan hujan dan berakhirlah musim kemarau, pelaksanaannya dengan berpatokan pada kapit karone ( hari kedua atau keempat setelah hari kelahiran/weton yamg punya sawah). Kegiatan ini dipimpin oleh seorang ulama atau kesepuhan setempat.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng Slamet lengkap dengan lauknya yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Ingkung ayam yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi
- Takir maknanya adalah bahwa segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan baik tanpa meningalkan azas silaturohmi, kebersamaan dan kegotong royongan
- Bunga, Kemenyan dan minyak wangi yang maknanya adalah agar apa yang menjadi permohonannya cepat diterima / dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rizki dan karuniannya agar segera didatangkan hujan untuk memulai aktifitas disawah dan berakhirnya musim kemarau, serta dengan harapan memperoleh panen hasil bumi yang melimpah, disamping itu mereka juga dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan.
f.Lembaga adat upacara adat tradisional Cowongan
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat yang terdiri dari sekelompok kaun tani untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional Cowongan yang dilaksanakan ditengah – tengah areal persawahan pada musim kering / kemarau dengan tujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar supaya didatangkan hujan sehingga dapat segera dilaksanakan aktifitas disawah dengan memulai menanam padi. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat. Struktur lembaga ini terdiri dari pelindung/penasihat, ketua, sekretaris, bendahara dan dibantu seksi-seksi sesuai dengan kebutuhan. Pelindung/penasihat lembaga ini biasanya adalah ketua kelompok tani atau tokoh masyarakat yang dituakan
Adapun urutan prosesinya dilaksanakan pada pagi sampai dengan sore hari diareal persawahan pada musim kering /kemarau dengan menyiapkan bentukan boneka semacam manusia kemudian diikat dengan lima buah selendang dan ditarik kelima penjuru mata angin oleh perempuan, lalu memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa (Kidung Pujian) agar segera didatangngkan hujan dan berakhirlah musim kemarau, pelaksanaannya dengan berpatokan pada kapit karone ( hari kedua atau keempat setelah hari kelahiran/weton yamg punya sawah). Kegiatan ini dipimpin oleh seorang ulama atau kesepuhan setempat.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng Slamet lengkap dengan lauknya yang maknanya
adalah sebagai ungkapan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa
- Ingkung ayam yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi
- Takir maknanya adalah bahwa segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan baik tanpa meningalkan azas silaturohmi, kebersamaan dan kegotong royongan
- Bunga, Kemenyan dan minyak wangi yang maknanya adalah agar apa yang menjadi permohonannya cepat diterima / dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rizki dan karuniannya agar segera didatangkan hujan untuk memulai aktifitas disawah dan berakhirnya musim kemarau, serta dengan harapan memperoleh panen hasil bumi yang melimpah, disamping itu mereka juga dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan.
3. Lembaga adat yang mewadahi kegiatan upacara adat tradisional berkaitan dengan kegiatan daur hidup.
a. Lembaga adat upacara adat tradisional Ngupati
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat / keluarga untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional Ngupati yang dilaksanakan untuk memperingati kehamilan yang memasuki usia empat bulan, dengan tujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar bakal janin diberi keselamatan, kesehatan, kekuatan dan kesempurnaan karena diyakini peniupan / pengisian roh terjadi pada bakal janin yang berusia empat bulan. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran kepala keluarga / seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat.
Adapun urutan prosesinya dilaksanakan selepas duhur / asar dengan kenduren yang terdiri dari kupat slamet, tumpeng kuat dilengkapi dengan masakan dari ikan tawar. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang ulama atau kesepuhan setempat.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng / Kupat Slamet lengkap dengan lauknya yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar supaya si janin kelak tumbuh dan berkembang dengan sehat dan sempurna serta dapat lahir dengan gangsar / lancar sehingga nantinya menjadi anak yang soleh dan solehah.
- Ikan tawar yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi
- Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar supaya si janin kelak tumbuh dan berkembang dengan sehat dan sempurna serta dapat lahir dengan gangsar / lancar sehingga nantinya menjadi anak yang soleh dan solehah, disamping itu mereka juga dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan.
b.Lembaga adat upacara adat tradisional Mitoni / Mitulikuri / Keba / Ningkepi / Tingkeban
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat / keluarga untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional Mitoni / Mitulikuri / Keba / Ningkepi / Tingkeban yang dilaksanakan untuk memperingati kehamilan yang memasuki usia tujuh bulan, dengan tujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar bakal janin diberi keselamatan, kesehatan, kekuatan dan kesempurnaan karena diyakini bentuk tubuh si jabang bayi dalam kandungan sudah lengkap (sempurna), biasanya peringatan ini dilaksanakan pada tangal 27 (Mitulikuri). Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran kepala keluarga / seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat.
Adapun urutan prosesinya dilaksanakan selepas duhur / asar dengan kenduren yang terdiri dari tumpeng slamet / kuat dengan lauk masakan dari ikan tawar, dilengkapi dengan bahan – bahan pelengkap yang juga serba tujuh missal : perlengkapan kain harus tujuh macam dan air untuk memandikan diambil dari tujuh sumber. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang ulama atau kesepuhan setempat.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng kuat / Slamet lengkap dengan lauknya yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar supaya si janin kelak tumbuh dan berkembang dengan sehat dan sempurna serta dapat lahir dengan gangsar / lancar sehingga nantinya menjadi anak yang soleh dan solehah.
- Ikan tawar yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar supaya si janin kelak tumbuh dan berkembang dengan sehat dan sempurna serta dapat lahir dengan gangsar / lancar sehingga nantinya menjadi anak yang soleh dan solehah, disamping itu mereka juga dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan.
c.Lembaga adat upacara adat tradisional Puputan
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat / keluarga untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional Puputan yang dilaksanakan setelah kaum ibu melahirkan bayi, yang ditandai dengan sembuhnya luka pada tali pusar bayi yang dipotong (Puputing puser), dengan tujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar kelak bayi yang baru lahir diberi keselamatan, kesehatan, kekuatan dan kesempurnaan serta menjadi anak yang soleh / solehah, bertaqwa, berbakti kepada orang tua dan berguna bagi negara, nusa dan bangsa. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran kepala keluarga / seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat.
Adapun urutan prosesinya dilaksanakan selepas duhur / asar dengan kenduren yang terdiri dari tumpeng slamet / kuat dengan lauk – pauk dilengkapi ingkung ayam. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang ulama atau kesepuhan setempat dan dukun bayi.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng kuat / Slamet lengkap dengan lauknya yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar supaya si janin kelak tumbuh dan berkembang dengan sehat dan sempurna serta dapat lahir dengan gangsar / lancar sehingga nantinya menjadi anak yang soleh dan solehah.
- Ingkung ayam yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi.
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar kelak bayi yang baru lahir diberi keselamatan, kesehatan, kekuatan dan kesempurnaan serta menjadi anak yang soleh / solehah, bertaqwa, berbakti kepada orang tua dan berguna bagi negara, nusa dan bangsa, disamping itu mereka juga dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan.
d. Lembaga adat upacara adat tradisional Slapanan
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat / keluarga untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional Slapanan yang dilaksanakan pada waktu bayi berusia tiga puluh lima hari (selapan dina) yang biasanya ditandai dengan pemberian nama bagi si bayi, dengan tujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar kelak bayi / anak diberi keselamatan, kesehatan, kekuatan dan kesempurnaan serta menjadi anak yang soleh / solehah, bertaqwa, berbakti kepada orang tua dan berguna bagi negara, nusa dan bangsa. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran kepala keluarga / seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat.
Adapun urutan prosesinya dilaksanakan selepas duhur / asar dengan kenduren yang terdiri dari tumpeng slamet / kuat dengan lauk – pauk dilengkapi ingkung ayam dilanjutkan dengan prosesi pemberian nama bagi si bayi. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang ulama atau kesepuhan setempat dan dukun bayi.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng kuat / Slamet lengkap dengan lauknya yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar supaya si bayi kelak tumbuh dan berkembang dengan sehat dan sempurna serta menjadi anak yang soleh dan solehah.
- Ingkung ayam yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi
- Bubur abang putih maknanya adalah sebagai perlambang
pemberian nama kepada si bayi.
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar kelak bayi diberi keselamatan, kesehatan, kekuatan dan kesempurnaan serta menjadi anak yang soleh / solehah, bertaqwa, berbakti kepada orang tua dan berguna bagi negara, nusa dan bangsa, disamping itu mereka juga dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan.
e. Lembaga adat upacara adat tradisional Pernikahan
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat / keluarga untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional Pernikahan yang dilaksanakan oleh keluarga pihak perempuan untuk mengesahkan hubungan kedua calon penganten putra – putri. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran kepala keluarga / seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat.
Adapun urutan prosesinya terdiri dari :
e.1.Lamaran
Dimana pihak calon penganten pria mengunjungi pihak calon penganten putri dengan maksud untuk menanyakan kepada keluarga calon penganten putri, apakah tidak mempunyai calon lain selain calon pengantin pria. Biasanya pihak calon pengantin pria mengirimkan duta untuk mewakili, yang dalam bahasa Banyumasan diistilahkan nggutulaken yang maksudnya menyampaikan keinginan dari pihak calon pengantin pria untuk meminang / melamar kepihak calon penganten putri. Setelah lamaran diterima oleh pihak calon penganten putri biasanya dibicarakan juga tentang rencana tanggal dan hari pernikahan.
Di Desa Sokaraja Tengah Kecamatan Sokaraja setelah selesai lamaran pihak keluarga calon penganten putri membagikan daun sirih kepada tetangga dengan maksud agar para tetangga sekelilingnya mengetahui bahwa calon penganten putri telah dilamar.
e..2.Resik
Merupakan salah satu bentuk upacara adat tradisional sebelum pernikahan berlangsung, yaitu resik – resik / bersih – bersih kuburan /makam leluhur yang biasanya dilakukan pada hari senin atau kamis dengan diwakili atau dengan menyuruh kamitua (orang yang dituakan dalam segala hal), dan dilaksanakan sebelum datangnya besan / tekaning besan (orang tua pihak calon penganten pria / putri).
e.3.Pasang Tratag
Merupakan salah satu bentuk upacara adat tradisional sebelum pernikahan berlangsung, dimana satu hari menjelang hari pernikahan / ijab kobul, dilaksanakan pemasangan tratag / tarub yang dimulai pada pagi hari dipasang / dibangun didepan atau disamping rumah dan dilakukan scara gotong royong.
Tekaning Besan / Serah – serahan
Merupakan salah satu bentuk upacara adat tradisional sebelum pernikahan berlangsung, dimana pihak calon penganten pria bertandang ke rumah pihak calon penganten putri dengan maksud menyerahkan bawaan yang nantinya digunakan dalam hajatan, yang antara lain berupa :
- Busana lengkap putri beserta asesorisnya
- Tumpeng
- Makanan / roti / snak
- Suluh (kayu bakar) satu sampai dengan tujuh pikul
- Kelapa satu sampai dengan tujuh pikul
- Padi satu sampai dengan tujuh pikul
- Iwen – iwen (hewan hidup) biasanya berupa ayam atau kambing
- Duit / uang
- Alat begalan
e.4.Ijab Kobul
Merupakan rangkaian upacara adat tradisional pernikahan yang paling sacral, dimana calon penganten putra dan putrid melaksanakan ijab kobul yang dipimpin oleh seorang penghulu dan didampingi oleh para wali serta saksi, disaksikan pula oleh kerabat dekat kedua belah pihak. Dalam ijab kobul ini penganten putra mengikat janji untuk hidup bersama dengan penganten putrid dalam suka dan duka. Setelah ijab kobul selesai, maka berarti kedua mempelai telah sah sebagai suami istri. Dalam rangkaian kegiatan ini disisipkan pula khotbah nikah yang disampaikan oleh penghulu untuk dimengerti dan dipahami oleh kedua mempelai.
e.5.Temu Penganten
Merupakan salah satu bentuk upacara adat tradisional dalam pernikahan dimana calon penganten putra dan putrid dipertemukan, kegiatan ini biasanya dibimbing langsung oleh dukun penganten.
- Begalan
Merupakan salah satu bentuk upacara adat tradisional dalam pernikahan yang menurut keyakinan sebagai sarana untuk menolak bala dan bencana serta malapetaka, yang berisi petuah- petuah untuk penganten putra dan putri dan dilaksanakan oleh orang yang punya hajat mantu pertama (menikahkan anak putri yang pertama). Kegiatan ini diperagakan oleh dua orang pelaku, seorang sebagai duta keluarga penganten putra (bernama guna), seorang lagi sebagai duta keluarga penganten putrid (bernama karya). Adapun adegan ringkasannya sebagai berikut :
- Wakil keluarga penganten putra membawa seperangkat alat dapur untuk diserahkan kepada penganten putrid yang terdiri dari pikulan, kusan, ceting, tampah, iyan, centong, ilir, siwur, cirri mutu, kendil termasuk juga padi yang masing – masing mempunyai makna tersendiri.
- Ditengah perjalanan duta keluarga penganten putra bertemu dengan duta penganten putrid
- Dalam dialog terjadi kesalah pahaman sehinga nyaris terjadi perselilihan.
- Setelah adanya adanya saling keterbukaan dan atau penjelasan dari masing – masing pihak, perselisihan dapat dihindari dan keduanya saling menyadari.
- Mengakhiri dialog dalam pertemuan kedua duta utusan keluarga penganten putri memukul sampai pecah kendil yang dibawa oleh duta penganten putra.
Tandur Penganten
Merupakan salah satu bentuk upacara adat tradisional dalam pernikahan, dimana penganten putra dan putrid berjalan dibelakang orang tua laki – laki (bapak) dari penganten putrid, kemudian didudukkan oleh bapak penganten putrid dipelaminan. Maksudnya untuk didoakan agar nantinya kedua mempelai dalam mengarungi kehidupan menjadi keluarga yang sakinah mawadah.
Gantung Gong
Merupakan salah satu bentuk upacara adat tradisional dalam pernikahan yang biasanya dilaksanakan pada malam hari setelah acara ijab kobul, dilaksanakan hiburan atau tontonan yang lazimnya berupa pertunjukan wayang kulit.
a. Selamatan Komaran / Walimahan
Merupakan salah satu bentuk upacara adat tradisional dalam pernikahan dilaksanakan setelah acara hajatan selesai dan disertai permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar penganten berdua senantiasa selamat dalam lindungannya.
Resik Umah
Merupakan salah satu bentuk upacara adat tradisional dalam pernikahan biasanya dilakukan oleh kedua mempelai pada pagi harinya setelah resmi menjadi suami istri dengan membersihkan rumah dan membuang sampah bersama –sama.
Nyorog
Merupakan salah satu bentuk upacara adat tradisional dalam pernikahan dimana kedua mempelai setelah resmi menjadi suami istri diharuskan mengirim makanan kepada orang ang lebih tua dari keluarga kedua mempelai atau kepada orang ang mempunyai status social tinggi.
Selamatan Sepasar Penganten
Merupakan salah satu bentuk upacara adat tradisional dalam pernikahan dimana selamatan dilaksanakan setelah lima hari (sepasar) kedua mempelai resmi sebagai suami istri. Kegiatan ini dilanjutkan dengan prosesi pemberian nama tua (jeneng tua kepada mempelai laki – laki / suami).
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng kuat / Slamet lengkap dengan lauknya yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar supaya kedua mempelai dalam mengarungi kehidupan diberi kelancaran dan senantiasa dalam lindungannya.
- Ingkung ayam / Gula Kambing yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi
- Tebu maknanya adalah antebing kalbu maksudnya
keyakinan hati.
- Daun beringin maknanya adalah pengayoman
- Kelapa satu tandan
- Pisang Raja satu tandan
- Padi seikat
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar kelak kedua mempelai diberi keselamatan kesehatan dan kekuatan serta dilimpahkan rizki / kesejahteraan dan senantiasa dalam lindunganya disamping itu mereka juga dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan.
f. Lembaga adat upacara adat tradisional Nelung dina
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat / keluarga untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional Nelung dina (hari ketiga) orang meninggal dunia yang dilaksanakan pada waktu selepas mahrib dengan tujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar arwahnya diterima disisinya sesuai dengan amal perbuatannya, karena diyakini pada hari ketiga setelah meninggal arwah / roh kembali kerumah, maka diadakan selamatan / tahlilan. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran kepala keluarga / seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat.
Adapun urutan prosesinya dilaksanakan selepas mahrib dengan kenduren selamatan / tahlilan yang terdiri dari tumpeng slamet / kuat dengan lauk – pauk dilengkapi ingkung ayam. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang ulama atau kesepuhan setempat.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng kuat / Slamet lengkap dengan lauknya yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar supaya arwahnya diterima disisi Tuhan Yang Maha Kuasa.
- Ingkung ayam yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi.
- Air dan bunga makanya adalah agar arwah / roh mendapat ketenangan dan doa dari yang masih hidup dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar arwahnya diterima disisinya sesuai dengan amal perbuatannya, disamping itu mereka juga dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan.
g. Lembaga adat upacara adat tradisional Mitung dina
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat / keluarga untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional Mitung dina (hari ketujuh) orang meninggal dunia yang dilaksanakan pada waktu selepas mahrib dengan tujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar arwahnya diterima disisinya sesuai dengan amal perbuatannya, karena diyakini pada hari ketujuh setelah meninggal arwah / roh kembali kerumah, maka diadakan selamatan / tahlilan. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran kepala keluarga / seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat.
Adapun urutan prosesinya dilaksanakan selepas mahrib dengan kenduren selamatan / tahlilan yang terdiri dari tumpeng slamet / kuat dengan lauk – pauk dilengkapi ingkung ayam. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang ulama atau kesepuhan setempat.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng kuat / Slamet lengkap dengan lauknya yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar supaya arwahnya diterima disisi Tuhan Yang Maha Kuasa.
- Ingkung ayam yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi.
- Air dan bunga makanya adalah agar arwah / roh mendapat ketenangan dan doa dari yang masih hidup dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar arwahnya diterima disisinya sesuai dengan amal perbuatannya, disamping itu mereka juga dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan.
h. Lembaga adat upacara adat tradisional Matang puluh dina
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat / keluarga untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional Matang puluh dina (hari keempat puluh) orang meninggal dunia yang dilaksanakan pada waktu selepas mahrib dengan tujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar arwahnya diterima disisinya sesuai dengan amal perbuatannya, karena diyakini pada hari keempat puluh setelah meninggal arwah / roh kembali kerumah, maka diadakan selamatan / tahlilan. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran kepala keluarga / seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat.
Adapun urutan prosesinya dilaksanakan selepas mahrib dengan kenduren selamatan / tahlilan yang terdiri dari tumpeng slamet / kuat dengan lauk – pauk dilengkapi ingkung ayam. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang ulama atau kesepuhan setempat.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng kuat / Slamet lengkap dengan lauknya yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar supaya arwahnya diterima disisi Tuhan Yang Maha Kuasa.
- Ingkung ayam yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi.
- Air dan bunga makanya adalah agar arwah / roh mendapat ketenangan dan doa dari yang masih hidup dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar arwahnya diterima disisinya sesuai dengan amal perbuatannya, disamping itu mereka juga dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan.
i. Lembaga adat upacara adat tradisional Nyatus dina
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat / keluarga untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional Nyatus dina (hari keseratus) orang meninggal dunia yang dilaksanakan pada waktu selepas mahrib dengan tujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar arwahnya diterima disisinya sesuai dengan amal perbuatannya, karena diyakini pada hari keseratus setelah meninggal arwah / roh kembali kerumah, maka diadakan selamatan / tahlilan. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran kepala keluarga / seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat.
Adapun urutan prosesinya dilaksanakan selepas mahrib dengan kenduren selamatan / tahlilan yang terdiri dari tumpeng slamet / kuat dengan lauk – pauk dilengkapi ingkung ayam. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang ulama atau kesepuhan setempat.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng kuat / Slamet lengkap dengan lauknya yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar supaya arwahnya diterima disisi Tuhan Yang Maha Kuasa.
- Ingkung ayam yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi.
- Air dan bunga makanya adalah agar arwah / roh mendapat ketenangan dan doa dari yang masih hidup dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar arwahnya diterima disisinya sesuai dengan amal perbuatannya, disamping itu mereka juga dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan.
j. Lembaga adat upacara adat tradisional Mendak sepisan
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat / keluarga untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional Mendak sepisan (satu tahun) orang meninggal dunia yang dilaksanakan pada waktu selepas mahrib dengan tujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar arwahnya diterima disisinya sesuai dengan amal perbuatannya, karena diyakini satu tahun setelah meninggal arwah / roh kembali kerumah, maka diadakan selamatan / tahlilan. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran kepala keluarga / seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat.
Adapun urutan prosesinya dilaksanakan selepas mahrib dengan kenduren selamatan / tahlilan yang terdiri dari tumpeng slamet / kuat dengan lauk – pauk dilengkapi ingkung ayam. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang ulama atau kesepuhan setempat.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng kuat / Slamet lengkap dengan lauknya yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar supaya arwahnya diterima disisi Tuhan Yang Maha Kuasa.
- Ingkung ayam yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi.
- Air dan bunga makanya adalah agar arwah / roh mendapat ketenangan dan doa dari yang masih hidup dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar arwahnya diterima disisinya sesuai dengan amal perbuatannya, disamping itu mereka juga dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan.
k. Lembaga adat upacara adat tradisional Mendak pindo
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat / keluarga untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional Mendak pindo (dua tahun) orang meninggal dunia yang dilaksanakan pada waktu selepas mahrib dengan tujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar arwahnya diterima disisinya sesuai dengan amal perbuatannya, karena diyakini pada dua tahun setelah meninggal arwah / roh kembali kerumah, maka diadakan selamatan / tahlilan. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran kepala keluarga / seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat.
Adapun urutan prosesinya dilaksanakan selepas mahrib dengan kenduren selamatan / tahlilan yang terdiri dari tumpeng slamet / kuat dengan lauk – pauk dilengkapi ingkung ayam. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang ulama atau kesepuhan setempat.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng kuat / Slamet lengkap dengan lauknya yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar supaya arwahnya diterima disisi Tuhan Yang Maha Kuasa.
- Ingkung ayam yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi.
- Air dan bunga makanya adalah agar arwah / roh mendapat ketenangan dan doa dari yang masih hidup dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar arwahnya diterima disisinya sesuai dengan amal perbuatannya, disamping itu mereka juga dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan.
l. Lembaga adat upacara adat tradisional Nyewu / Mendak Ketelu / Ngepogaken
Lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat / keluarga untuk mewadahi kegiatan-kegiatan upacara adat tradisional Nyewu / Mendak Ketelu / Ngepogaken (seribu hari) orang meninggal dunia yang dilaksanakan pada waktu selepas mahrib dengan tujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar arwahnya diterima disisinya sesuai dengan amal perbuatannya, karena diyakini pada hari keseribu setelah meninggal arwah / roh kembali kerumah, maka diadakan selamatan / tahlilan. Lembaga ini mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan kolektif yang dilakukan secara terus menerus sampai menjadi adat/tradisi yang kemudian berkembang menjadi tata kelakuan. Pembentukan lembaga adat ini didasarkan pada peran kepala keluarga / seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat di mana yang bersangkutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Dengan kelebihannya itulah dapat menjadi pola anutan dan biasanya orang tersebut menjadi pimpinan/ketua lembaga adat.
Adapun urutan prosesinya dilaksanakan selepas mahrib dengan kenduren selamatan / tahlilan yang terdiri dari tumpeng slamet / kuat dengan lauk – pauk dilengkapi ingkung ayam. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang ulama atau kesepuhan setempat dan pada pagi harinya dilaksanakan pemasangan kijing diatas makam.
Sesaji atau ube rampe dalam kegiatan upacara adat ini adalah :
- Tumpeng kuat / Slamet lengkap dengan lauknya yang maknanya adalah sebagai ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar supaya arwahnya diterima disisi Tuhan Yang Maha Kuasa.
- Ingkung ayam yang maknanya adalah sebagai ungkapan kebersamaan dan kegotongroyongan serta mempereret tali silaturahmi.
- Air dan bunga makanya adalah agar arwah / roh mendapat ketenangan dan doa dari yang masih hidup dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Makna / nilai – nilai yang terkandung dalam kegiatan upacara ini adalah ungkapan ungkapan puji syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar arwahnya diterima disisinya sesuai dengan amal perbuatannya, disamping itu mereka juga dapat berkumpul / bertemu untuk mempererat tali silaturahmi serta rasa kebersamaan dan kegotong royongan.
DAFTAR BENDA CAGAR BUDAYA / SITUS
DI KABUPATEN BANYUMAS
No
|
Nama Situs / Petilasan / BCB
|
Alamat
|
I
| KECAMATAN SOMAGEDE | |
1
|
Petilasan Kalikenanga
|
Desa Plana Rt 05 /7
|
2
|
Kiai Slamet
|
Desa Klinting Rt 0 / Rw1
|
3
|
Puser Bumi
|
Desa Klinting Rt 04/1
|
4
|
Panembahan Eyang Nala Branta
|
Rt 08/2 Dusun II
Desa Tanggeran
|
5
|
Panembahan Depok
|
Pengarengan (Grumbul)
Desa Kanding
|
6
|
Panembahan Kali Wenang
|
Rt 02/5 Dusun C
Desa Piasa Kulon
|
7
|
Panembahan Kaliwenang
|
Piasa, Kl. D. C Rt ¾
Grumbul Pasuruan
Kecamatan Somagede
|
8
|
Padepokan karang Duwur
|
Tanggeran Rt 06/2
Kecamatan Somagede
|
9
|
Kali Kenanga
|
Ds. Plana Rt 06/5
Kecamatan Somagede
|
II
| KECAMATAN CILONGOK | |
1
|
Watu Paron
|
Gunung Lurah Rt 06/2
|
2
|
Kedung Talang Sari
|
Kalisari Rt 03/2
Kecamatan Cilongok
|
3
|
Makam Mbah Wali Abdushomad Jombor
|
Jombar Cipete Rt 02/3
|
4
|
Mbah Kerti Djaja
|
Sokawera Rt 04/9
Kecamatan Cilongok
|
5
|
Syeh Ahmad Nurzuki
|
Sokawera Rt 03/8
Kecamatan Cilongok
|
6
|
Mbah Kroya
|
Batuanten Rt 02/3
Kecamatan Cilongok
|
7
|
Pring Sedapur Mbah Sapujagat
|
Desa Sudimara Rt 03/1
Kecamatan Cilongok
|
8
|
Makam Mbah Wali Abdussommad Jombar
|
Jombor Cipete Rt 02/3
Kecamatan Cilongok
|
9
|
Pesarean Jaksa Truna Leksana
|
Sudimara Rt 01/4
Kecamatan Cilongok
|
10
|
Tabet Gandaria
|
Desa Gn. Lurah Rt 04/6
Kecamatan Cilongok
|
12
|
Kedung Makam / HM. Abdussalam
|
Batuanten Rt ½
Kecamatan Cilongok
|
13
|
Pesarehan DAI
|
Rt 01/3 Gn. Lurah
Kecamatan Cilongok
|
14
|
Setana Dawa
|
Karang Tengah Rt 07/2
Kecamatan Cilongok
|
15
|
Sela Kerti
|
Gunug Lurah Rt 04/8
Kecamatan Cilongok
|
16
|
Watu Lumpang
|
Sambirata Rt 03/1
Kecamatan Cilongok
|
17
|
Tabet Jaran
|
Gunung Lurah Rt 01/2
Kecamatan Cilongok
|
18
|
Tabet Pring Sedapur
|
Sudimara, Sawoan Rt 03/1
Kecamatan Cilongok
|
19
|
Syekh Abdussalam
|
Gunung Lurah Rt 02/8
Kecamatan Cilongok
|
20
|
Pesamoan / Padepokan Kertisari
|
Langgong Sari Rt 03/1
Kecamatan Cilongok
|
21
|
Krangean
|
Gunung Lurah Rt 04/4
Kecamatan Cilongok
|
22
|
Makam Eyang Singadipa
|
Panembangan Rt 03/1
Kecamatan Cilongok
|
23
|
Kerti Jaya
|
Sokawera Rt 04/3
Kecamatan Cilongok
|
24
|
Panembahan Mbah Gejug
|
Kasegeran Rt 01/4
Kecamatan Cilongok
|
III
| KECAMATAN KARANG LEWAS | |
1
|
Istana Gede
|
Taman Sari Rt 01/4
Kecamatan Karang Lewas
|
2
|
Batur Rana
|
Grm. Semaya
Ds. Sunya Langu
|
3
|
Ciliwet
|
Desa Jipang Rt 02/1, Kec. Karanglewas
|
4
|
Makam Mbah Agung
|
Kediri Rt 02/5
Kecamatan Karang Lewas
|
5
|
Carang Nngandul
|
Desa Taman Sari Rt 05/4, Kec. Karanglewas
|
6
|
Singakerti – Syeh Abushomad
|
Singasari Rt 03/3
Kecamatan Karang Lewas
|
7
|
Astana Pasir Luhur (Makam Pasir Luhur)
|
Pasir Wetan Rt 02/3
Kecamatan Karang Lewas
|
8
|
Siti Pertiwi (Mbah)
|
Desa Jipang Rt 02/3
Kecamatan Karang Lewas
|
9
|
Masjid Kaji Watu
|
Taman Sari Rt 01/5
Kecamatan Karang Lewas
|
10
|
Tabetan
|
Karang Kemiri
|
11
|
Cimeleng
|
Pasir Kulon Rt 01/2
Kecamatan Karang Lewas
|
12
|
Makam Syeh Mardum Wali
|
Paasir Kkulon Rt 02/1
Kecamatan Karang Lewas
|
13
|
Petilasan Kabunan
|
Desa Karangude, Kec. Karanglewas
|
IV
| KECAMATAN KEDUNG BANTENG | |
1
|
Batur Agung
|
Baseh Rt 01/6
Kecan\matan Kedung Banteng
|
2
|
Windu Kencana
|
Windu Jaya Rt 02/1
Kecamatan Kedung Banteng
|
3
|
Imam Khuasa
|
Kqli Cupak Rt 03/3
Kecamatan Kedung Banteng
|
4
|
Makam Syeh Kencana Kali Sabak
|
Kali Sakak Rt 06/1
Kecamatan Kedung Banteng
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar